keterangan poto : Suasana kegiatan bedah buku oleh Walhi NTB, Rabu 28 Mei 2025 (Sumber. Walhi ntb)
Mataram. Radio Arki – Perampasan hak atau ruang laut dan hilangnya hak hidup masyarakat pesisir menjadi sorotan utama dalam diskusi dan bedah buku “Merampas Laut, Merampas Hidup Nelayan” yang diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu (28/5) lalu, di aula hotel Mataram Square, Mataram.
Dalam pengantarnya sebagai moderator, direktur WALHI NTB, Amri Nuryadin, menyampaikan bahwa isi buku tersebut bukan sekadar catatan pengalaman dari wilayah lain, tetapi juga mencerminkan realitas yang dihadapi oleh nelayan dan masyarakat pesisir di NTB.
“Apa yang dituliskan dalam buku ini juga terjadi di banyak tempat di NTB. Yakni perampasan ruang hidup nelayan yang terjadi secara terstruktur. Masyarakat dihimpit oleh pengaturan ruang laut yang tidak berpihak pada kondisi mereka saat ini maupun masa depan hidup mereka,” bebernya.
Amry pun mendorong agar ruang laut tidak lagi dikapitalisasi dan dimonopoli, melainkan dikelola secara adil oleh masyarakat yang selama ini hidup dan bergantung padanya.
Diskusi ini menghadirkan beberapa narasumber Nasional, yang menjadi penulis dalam buku tersebut, diantaranya adalah Fikerman Saragih dari Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan, Tubagus dari WALHI Nasional, Amin Abdullah dari Lembaga Pengembangan Sumberdaya Nelayan.
Dalam paparannya, Tubagus, Kepala Divisi Perencanaan, Monitoring, Evaluasi, dan Learning WALHI Nasional, yang menjelaskan bahwa perampasan ruang laut tidak lepas dari lemahnya kebijakan perlindungan terhadap ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil (Pela). Ruang Pela menjadi sangat rentan dieksploitasi karena sejak awal negara tidak membangun sistem perlindungan yang kuat. Bahkan, negara kerap kali terlibat langsung dalam proses perampasan itu sendiri.
Tubagus juga menyoroti penghilangan tradisi bahari sebagai bentuk lain dari perampasan ruang hidup masyarakat pesisir. Tradisi ini perlahan dihilangkan, mulai dari pemaksaan transformasi sosial oleh kolonialisme, pencemaran lingkungan oleh aktivitas industri, hingga kebijakan pengkaplingan laut melalui tata ruang.
“Semua ini menjauhkan masyarakat dari laut yang telah menjadi bagian dari hidup mereka selama turun-temurun,” bebernya.

“Kondisi ini paling berdampak pada nelayan tradisional, perempuan, dan generasi muda pesisir yang kini menghadapi krisis berlapis — dari kerusakan ekosistem dan pencemaran laut, hingga tekanan perubahan iklim yang semakin memperburuk ketimpangan,” imbuhnya
Sementara itu, direktur LPSN Amin Abdullah menyoroti fenomena yang disebut sebagai ocean grabbing, dimana ruang laut yang telah lama digunakan masyarakat lokal tiba-tiba dialihfungsikan untuk kepentingan investasi melalui mekanisme perizinan seperti PKKPRL (Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut). Salah satu kasus mencolok terjadi di Teluk Jukung, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur.
“Di sana, pemerintah pusat memberikan izin kepada perusahaan untuk budidaya lobster skala besar tanpa mempertimbangkan fakta bahwa kawasan itu telah lama digunakan masyarakat sebagai kampung lobster,” terangnya
Dalam kesimpulan acara itu, WALHI NTB menegaskan bahwa atas berbagai kondisi yang ada di NTB mendesak agar pemerintah NTB mengevaluasi secara menyeluruh terhadap kebijakannya yang saat ini menyusahkan seluruh masyarakat pesisir dan nelayan di NTB, segera memulihkan ekosistem pesisir dan laut, memberikan perlindungan dan pengakuan kepada ruang kelola masyarakat, serta memusatkan kebijakan dan program untuk kepentingan masyarakat pesisir dan nelayan yang berkeadilan. (Admin01. Radio Arki)