keterangan poto : Akademisi Undova, Dr. Mujahid Imaduddin, (Sumber.arki)
Sumbawa Barat — Polemik seputar rencana revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang penyakit masyarakat di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) terus mendapat sorotan publik. Belakangan, praktisi Hukum bahkan menilai keterlibatan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) dalam memberikan rekomendasi terhadap pengendalian peredaran minuman keras yang diatur dalam Perda tersebut justru tidak memiliki kewenangan formal, sehingga dianggap bertentangan dengan prinsip hukum administrasi, untuk itu sudah sepatutnya perda itu direvisi.
Namun pandangan itu, langsung ditanggapi berbeda oleh akademisi Universitas Cordova (Undova), Dr. Mujahid Imaduddin, S.H.I., M.Ag. Menurut ustat Imad, demikian ia akrab disapa, keterlibatan MUI dan LATS justru mencerminkan bentuk demokrasi lokal yang berakar kuat pada nilai dan struktur sosial masyarakat.
“Dalam masyarakat seperti Sumbawa Barat yang religius dan kental dengan nilai adat, hukum yang hanya berlandaskan prosedur formal tidak cukup. Perlu ada legitimasi sosial yang menyertainya,” terangnya
Ustat Imad menegaskan bahwa hukum bukan semata-mata instrumen negara, tetapi juga ekspresi nilai dan moralitas publik. Ia menyitir pemikiran filsuf hukum Lon Fuller dan Jeremy Bentham untuk memperkuat argumennya bahwa hukum yang baik harus mencerminkan kesadaran kolektif dan nilai-nilai yang dihidupi masyarakat. Karena itu, pelibatan MUI dan LATS tidak hanya sah secara sosial, tetapi juga dapat dibenarkan secara yuridis.
“Otonomi daerah bukan sekadar desentralisasi administratif,” tegasnya. “Konstitusi kita mengakui eksistensi masyarakat adat, dan regulasi seperti UU No. 23 Tahun 2014 serta UU No. 5 Tahun 2017 memberi ruang bagi ekspresi nilai lokal dalam kebijakan publik.” tambahnya
Ia juga menyoroti bahwa masalah penyakit masyarakat tidak bisa ditangani dengan pendekatan legalistik semata. Masalah ini bersinggungan langsung dengan aspek moral, ketahanan sosial, dan struktur budaya lokal. Oleh sebab itu, kehadiran lembaga seperti MUI dan LATS merupakan mitra strategis dalam membangun ketahanan sosial melalui pendekatan berbasis nilai.
Menurutnya, Perda yang melibatkan lembaga adat seperti Perda tentang penertiban penyakit masyarakat tidak perlu direvisi secara substansial. Justru yang dibutuhkan adalah penguatan redaksional agar kerangka kerja mereka dalam Perda lebih jelas dan tidak menimbulkan multitafsir. Ia mengingatkan bahwa mengabaikan peran LATS dan MUI hanya demi mengejar prosedur yang kaku dapat berujung pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
“Keadilan bukan hanya tercapai ketika prosedur dijalankan, tetapi ketika kebijakan mampu menjawab kebutuhan masyarakat secara kontekstual. Keadilan substantif menghendaki keterlibatan aktor-aktor kultural yang memahami denyut sosial masyarakat. Dalam hal ini, MUI dan lembaga adat tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial masyarakat KSB yang religius dan berakar kuat pada kearifan lokal” pungkasnya,
“Ini bukan soal memberikan kewenangan hukum kepada MUI dan LATS, tetapi soal menjadikan mereka bagian dari mekanisme legitimasi sosial. Ini adalah praktik demokrasi yang kontekstual dan inklusif,” demikian, Ustat Imad. (Admin01. Radio Arki)