ARTIKEL

100 Hari Kepemimpinan Bupati KSB, Perempuan dan Anak Masih Ditinggalkan ?

Penulis : Mutya Gustina, Aktivis Perempuan, Pendiri Ruang Perempuan

Sumbawa Barat – Sudah lebih 100 hari masa kerja Bupati Sumbawa Barat, H. Amar Nurmansyah, ST., M.Si., dan Wakil Bupati Hj. Hanifah, S.Pt., M.M.Inov. Namun, hingga kini belum terlihat satu pun program strategis yang secara khusus menyentuh isu perempuan dan anak padahal keduanya adalah kelompok prioritas dalam pembangunan nasional.

Berbagai program unggulan memang diumumkan, mulai dari sektor pendidikan, kesehatan, pertanian, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat. Tapi tidak ada satupun yang secara eksplisit berpihak pada kebutuhan mendasar perempuan dan anak. Tak terdengar program seperti wajib pemberian ASI eksklusif, kebijakan yang mendukung ASN perempuan membawa anak ke tempat kerja, atau pembentukan satgas penanganan kekerasan seksual. Padahal ini adalah kebutuhan nyata dan urgen yang semestinya hadir di hari-hari awal pemerintahan.

Hal ini menegaskan bahwa orientasi kebijakan Pemkab KSB masih belum sensitif gender. Perencanaan pembangunan yang mengabaikan perspektif perempuan bukanlah hal baru ini rahasia umum dalam banyak forum musyawarah, bahkan hingga ke tingkat teknis pelaksanaan program. Di tengah seruan nasional untuk mengarusutamakan gender, KSB justru tertinggal. Padahal, fakta-fakta di lapangan seharusnya membuka mata. Tingginya angka stunting di KSB, misalnya, bukan hanya dialami oleh keluarga miskin, tetapi justru setahu kami banyak terjadi pada anak-anak dari keluarga ASN mereka yang secara ekonomi tergolong mampu, namun tidak memiliki waktu dan perhatian penuh untuk pengasuhan karena beban kerja. Ini menunjukkan bahwa persoalan kesehatan anak tidak semata soal ekonomi, tapi tentang minimnya kebijakan pendukung bagi orang tua pekerja, untuk dapat hadir dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan anaknya.

keterangan poto : ilustrasi program ASI eksklusif yang harus jadi perhatian (sumber. istimewa)

Lebih lanjut, ketimpangan gender terus dipelihara melalui kebijakan yang tidak ramah terhadap peran perempuan di ruang publik. Beban ganda perempuan tak kunjung mendapat perhatian: di satu sisi dituntut produktif secara ekonomi, di sisi lain tetap memikul tanggung jawab penuh dalam pengasuhan. Peran ayah dalam pengasuhan pun nyaris tak terdengar dalam kebijakan pemerintah daerah.

Tak hanya itu, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak juga belum menunjukkan kemajuan. Layanan UPTD PPA di Sumbawa Barat masih menghadapi keterbatasan serius: tenaga penjangkauan kasus yang minim, tidak ada psikolog khusus, belum tersedia ruang pengaduan yang representatif, dan belum ada rumah aman bagi korban. Ini berarti, korban kekerasan masih berjuang sendirian.

Padahal, secara regulatif, mandat untuk menghadirkan pembangunan yang adil dan inklusif sudah sangat jelas. Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah menjadi dasar hukum yang wajib dilaksanakan.

Sayangnya, dalam 100 hari pertama ini, tidak tampak langkah konkret ke arah sana. Bahkan, kehadiran Wakil Bupati perempuan masih belum dimanfaatkan untuk mengangkat persoalan ini ke ranah kebijakan. Sebaliknya, justru mempertegas bahwa kepemimpinan saat ini masih jauh dari keberpihakan terhadap kelompok rentan.

Pembangunan tanpa keadilan gender bukan hanya tidak adil, tetapi juga tidak akan pernah berkelanjutan. Maka, pertanyaan penting harus diajukan: sampai kapan perempuan dan anak akan terus berada di luar prioritas?

Related posts

Sekolah di KSB tidak Menarik?

ArkiFM Friendly Radio

DAPIL III BUTUH WAJAH BARU DAN BERANI DI LEGISLATIF

ArkiFM Friendly Radio

Mahasiswa KKN Unram Dorong Inovasi Olahan Rumput Laut di Desa Kertasari

ArkiFM Friendly Radio

Leave a Comment

You cannot copy content of this page