Oleh: Roby Nur Akbar, S.AB.,M.AB (Dosen & Ketua Program Studi Manajemen Universitas Merdeka Malang)
Bayangkan sebuah masyarakat modern, dengan akses ke sains, data, dan ratusan tahun sejarah ekonomi global, tetapi masih membangun masa depannya di atas lubang. Bukan lubang pengetahuan, melainkan lubang literal yaitu tambang. Itulah NTB hari ini, wilayah yang mengalami kontraksi ekonomi sebesar -1,47% hanya karena satu hal, produksi tambangnya menurun. Sebuah ekonomi yang nyaris roboh bukan karena perang, bukan karena pandemi, tapi karena bumi tak mengeluarkan cukup logam. Dalam kerangka analitik modern katakanlah Five Forces Framework ala Michael Porter, ini bukan sekadar ketergantungan, ini adalah ketundukan. Ketika satu sektor, yang bahkan hanya menyumbang 19% terhadap PDRB, dapat membuat seluruh struktur ekonomi pincang, maka itu bukan lagi strategi, itu semacam dogma ekonomi. Kita menyembahnya tanpa berpikir. Para pengambil kebijakan, alih-alih menjadi insinyur pembangunan, tampaknya lebih cocok disebut imam besar dalam agama ekstraktivisme.
Mari kita melihat lebih dekat, supplier power dalam kasus NTB bukan sekadar kuat, tapi hegemonik. Satu-dua korporasi tambang global, dengan kekuatan finansial yang melampaui APBD, memegang kunci pertumbuhan. Sementara masyarakat lokal, yang bekerja di sektor pertanian dan menyumbang 33% tenaga kerja serta menghasilkan pertumbuhan 10,28% justru seperti anak tiri, dibutuhkan, tapi tidak diundang dalam pesta strategi. Mereka bekerja dengan cangkul, tapi tidak pernah duduk di meja perencanaan. Lebih ironis lagi, ancaman substitusi dalam sektor ini hampir nihil. Tidak ada rencana B, tidak ada cadangan naratif. Seolah-olah tambang adalah takdir. Kita menyebutnya “sumber daya”, padahal dalam bentuk kebijakan kita memperlakukannya seperti satu-satunya sumber kehidupan. Dan seperti semua bentuk keyakinan buta, ini mengundang bencana. Ekonom menyebutnya resource trap. Tapi saya lebih suka menyebutnya kultus monosektor.
Lalu datanglah nasihat lama yang kita dengar tapi tak pernah kita ikuti yaitu diversifikasi. Seperti doa yang diulang-ulang, tapi tak pernah dikabulkan, bukan karena Tuhan tak mendengar, tetapi karena manusia tak mau bergerak. Kita tahu ada potensi di pertanian, pariwisata, industri kreatif, bahkan energi terbarukan. Tapi mengapa kita tetap membangun jalan raya yang hanya mengarah ke tambang?
Ada banyak yang bisa dilakukan, tentu saja, seperti merancang Strategi klaster, Insentif fiskal, dan Investasi dalam pendidikan vokasional. Infrastruktur yang bukan hanya mempercepat ekspor logam mentah, tetapi juga memudahkan petani menjual cabainya ke pasar. Tetapi semua itu membutuhkan satu hal yang paling langka dalam politik pembangunan yaitu keberanian untuk berpikir. Ekonomi yang bergantung pada apa yang bisa digali dari tanah, alih-alih pada apa yang bisa diproduksi oleh akal dan kerja manusia, bukan hanya rapuh, itu malas. Dan di balik setiap ekonomi yang malas, ada birokrasi yang terlalu nyaman dan masyarakat yang terlalu terbiasa dengan mitos.
NTB tidak kekurangan potensi. Yang kurang adalah keberanian untuk menyebut absurditas sebagai absurditas. Di dunia yang bergerak menuju energi bersih, ekonomi digital, dan ketahanan pangan, masih menulis strategi pembangunan dengan tinta tambang adalah bentuk anachronism yang nyaris komik. Tapi ini bukan lelucon. Ini hidup ratusan ribu orang yang dipertaruhkan atas nama stabilitas palsu. Jika kita masih percaya bahwa kebijakan harus berlandaskan akal sehat dan bukan kepercayaan purba terhadap kekayaan alam sebagai juru selamat, maka sekarang adalah waktunya untuk bertindak. Bukan untuk menambang lebih dalam, tetapi untuk berpikir lebih jauh.