Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ketenagakerjaan yang belum lama ini ditetapkan ternyata belum mendapat perhatian serius dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertran), Pemda KSB masih berdalih bahwa mereka menunggu aturan pelaksana, padahal putusan MK secara hukum bersifat final dan mengikat serta mestinya telah mulai bisa dijalankan.

Sikap ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Sumbawa Barat yang menilai bahwa pemerintah daerah seharusnya segera menyelaraskan kebijakan mereka dengan putusan MK karena hal tersebut menyangkut hak-hak buruh. Mengabaikan putusan ini hanya akan memperpanjang ketidakpastian bagi para pekerja yang membutuhkan kepastian hukum atas status dan hak-haknya.
Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 menyatakan bahwa klaster ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja bersifat inkonstitusional bersyarat. MK memerintahkan agar pemerintah dan DPR memisahkan atau mengeluarkan ketentuan ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja dan membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dalam jangka waktu dua tahun. Putusan ini berdampak pada berbagai aspek ketenagakerjaan, termasuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), sistem outsourcing, waktu kerja dan istirahat, upah minimum, pemutusan hubungan kerja (PHK), serta jaminan sosial bagi pekerja.
Sumbawa Barat memiliki Kawasan industri dengan ratusan Perusahaan di dalamnya yaitu Tambang Batu Hijau. Pemberlakukan putusan ini harusnya menjadi angin ‘segar’ bagi buruh, tetapi jika harus menunggu hal teknis untuk membentuk undang-undang lantas kemudian baru dijalankan oleh daerah, maka putusan ini tak ubahnya ‘prank’ bagi buruh. Harusnya logikanya sederhana, substansi aturan ini telah diputuskan dan apa yang menjadi substansi dalam putusan itu adalah pengembalian kepada substansi yang ada pada aturan sebelumnya yaitu Undang Undang 13 tahun 2003 tentang ketenagkerjaan. Pemahaman untuk menunggu aturan turunan hingga dua tahun tentu sangat keliru, karena hanya akan semakin memperlambat perlindungan terhadap hak pekerja yang seharusnya sudah berjalan.
Sikap Pemda KSB yang terkesan mencari pembenaran dengan alasan menunggu aturan turunan tidak bisa dilihat sekedar dalam kacamata birokrasi yang sangat teknis, tetapi sekaligus menimbulkan pertanyaan lebih lanjut mengenai keberpihakan Disnakertran. Berlarutnya pemberlakukan aturan ini, jelas berpotensi merugikan buruh dan menimbulkan ketidakadilan dalam hubungan industrial. Tanpa tindakan konkret, pekerja di daerah tersebut akan semakin sulit mendapatkan hak-haknya yang seharusnya dijamin oleh hukum.
Seharusnya, Disnaker bukan hanya berperan sebagai jembatan antara pekerja dan pengusaha, melainkan melihat pada perspektif buruh sebagai ‘kelas sosial yang lemah’ sehingga perlu keberpihakan, karena itulah sejatinya fungsi alat negara, atau memang Disnakertrans Sumbawa Barat hanya menjadi pelindung kepentingan bisnis bukan pekerja atau buruh.   (Admin01. Radio Arki)