Keterangan : gedung Sekretariat Daerah Sumbawa Barat (sumber. internet)
Penentuan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) kini memasuki fase krusial. Pendaftaran resmi telah dibuka, dan terdapat sejumlah nama yang muncul, geliat politik di baliknya juga sudah mulai terasa. Di ruang-ruang diskusi, warung kopi, hingga jagat media sosial, publik mulai menebak-nebak siapa sosok yang akan menduduki kursi “EA 6 H” berikutnya, sebuah jabatan strategis yang tak hanya menjadi panglima birokrasi, tetapi juga penentu arah roda pemerintahan di bawah kendali Bupati Amar Nurmansyah.
Perlu kita sadari bersama bahwa jabatan Sekretaris Daerah tak bisa lagi dimaknai semata sebagai jabatan birokrasi yang steril dari dinamika kekuasaan. Dengan ruang kewenangan yang luas, Sekda adalah motor penggerak pemerintahan. Ia mengatur napas ribuan ASN, menjaga ritme jalannya program strategis, sekaligus menjadi penghubung antara visi kepala daerah dan pelaksanaan teknokratisnya di lapangan.
Namun di balik fungsinya yang formal dan administratif itu, Sekda juga adalah “aktor politik”, meskipun tidak langsung terlibat dalam kontestasi elektoral. Ia bisa menjadi jembatan, bahkan perpanjangan tangan, dari kekuasaan politik untuk mengamankan arah kebijakan, membangun loyalitas birokrasi, atau menyusun fondasi bagi kepemimpinan selanjutnya.
Dengan kata lain, siapa yang menjadi Sekda hari ini, bisa menentukan seperti apa wajah pemerintahan esok hari?
Kepemimpinan Amar Nurmansyah tidak lahir dalam ruang hampa. Ia adalah bagian dari kesinambungan politik yang dirintis Dr. H. W. Musyafirin, Bupati dua periode sebelumnya. Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Musyafirin dengan lugas menyebut bahwa Amar adalah bentuk dari “warisan” kepemimpinan. Bukan dalam makna negatif, tetapi lebih sebagai simbol kesinambungan, hasil dari kerja keras, dan strategi politik jangka panjang.
Kemunculan Amar sebagai Bupati dan Hj. Hanifah Musyafirin, istri dari Dr.H.W. Musyafirin sendiri sebagai wakil bupati, menjadi bukti konkret bagaimana kekuasaan bisa diwariskan dalam sistem demokrasi lokal, melalui jalan sah yang telah diatur konstitusi. Namun dinamika seperti ini tidak datang tanpa konsekuensi. Salah satunya adalah bagaimana proses-proses pengambilan keputusan strategis, seperti pemilihan Sekda, akan selalu ditafsirkan dalam kacamata politik, apakah ia bagian dari konsolidasi kekuasaan, atau benar-benar cerminan kebutuhan birokrasi?
Beberapa nama yang muncul, seperti dr. Hairul, Khusnarti, S.Pd M.M.inov bukanlah nama asing. Mereka adalah figur-figur yang selama ini berada di orbit kekuasaan, bahkan disebut-sebut turut berperan dalam perjalanan Amar menuju tampuk pimpinan KSB. Mereka memiliki rekam jejak yang berbeda, keahlian yang spesifik, serta kontribusi yang tak bisa diabaikan.

dr. Hairul, misalnya, dikenal luas sebagai perencana Pembangunan yang matang, dan atau teknokratik ulung. Khusnarti memiliki pengalaman teknis di bidang Pendidikan dengan urusan tenaga Pendidik yang ‘ngejelimet’. Keduanya adalah sosok yang masih punya hubungan langsung dengan Dr. H.W. Musyafirin, lantas apakah kedua dapat tiket darinya?, nanti dulu. Kita hanya bisa berspekulasi, mungkin diantara keduanya adalah yang paling kuat untuk EA 6 H?
Sementara itu, Suhadi. S.P., M.Si, Abdul Hamid, S.Pd.M.Pd dan Amir Syafruddin, S.Pd, ST. MM juga bukan birokrat biasa, mereka punya rekam jejak professional birokrat. Khusus Suhadi, dia bahkan pernah menjadi bagian langsung Dr.H.W Musyafirin dalam menapaki karir birokratnya di penata keuangan kala itu, artinya secara profesionalitas dia teruji di mata Dr. H.W. Musyafirin dan bisa juga menjadi bagian yang mendapatkan rekomendasi atau slipan dari suksesor H. Amar Nurmansyah itu.
Sedikit berbeda dengan Suhadi, meskipun birokrat tulen, Abdul Hamid, S.Pd M., M.Pd bukanlah birokrat karbitan, setidaknya ada beberapa jabatan kepala OPD yang telah dipegang, artinya secara kemampuan tentu patut diperhitungkan, jika pertimbangnnya adalah murni profesionalitas. Sementara itu, Amir Syafruddin, ST juga hampir sama dengan Abdul Hamid, dengan posisi sebagai inspektorat tentu jika Amar Nurmansyah menginginkan orang yang fokus pada menata system birokrasi dan penguatan internal, maka Amir Syafruddin, ST bisa menjadi pilihan.
Masing-masing figur ini tentu membawa warna dan peluang tersendiri, public akan menilai sejauh mana kemandirian H. Amar Nurmansyah, ST dalam menentukan itu. Di saat yang sama, pilihan ini juga membuka pertanyaan: apakah pemilihan Sekda nanti akan berpijak pada meritokrasi—siapa yang paling mampu dan relevan untuk tantangan birokrasi hari ini—atau justru menjadi ajang kompromi politik untuk menjaga loyalitas, stabilitas, dan arah warisan kekuasaan?
Inilah titik kritisnya. Di satu sisi, pemerintahan membutuhkan Sekda yang cakap, netral, dan berintegritas tinggi. Sosok yang mampu membenahi sistem birokrasi, memperkuat pelayanan publik, dan menjalankan program-program strategis Bupati tanpa agenda tersembunyi. Di sisi lain, godaan politik untuk menempatkan figur yang “aman secara loyalitas” bisa sangat besar, apalagi dalam konteks kekuasaan yang masih ingin mempertahankan kesinambungan untuk jangka panjang.
Sejarah telah membuktikan bahwa birokrasi yang sehat tidak dibangun di atas kompromi politik semata. Tapi juga tidak naif untuk berpikir bahwa politik bisa sepenuhnya dipisahkan dari birokrasi. Yang menjadi penting adalah keseimbangan—bagaimana jabatan strategis seperti Sekda bisa menjadi penguat pemerintahan, bukan beban; menjadi jembatan rakyat dengan pemimpinnya, bukan sekadar pelayan kekuasaan.
Saat ini, bola ada di tangan Bupati Amar Nurmansyah dan tim seleksi yang akan memfilter dan menilai para calon Sekda. Di tengah segala pertimbangan politik yang pasti ada, publik menaruh harapan besar agar proses ini berjalan jujur, objektif, dan terbuka. Karena siapa pun yang terpilih nanti, ia akan menjadi wajah baru birokrasi Sumbawa Barat, pemegang amanah publik, dan bagian dari jejak sejarah pemerintahan Amar.
Kita berharap, proses ini tidak menjadi sekadar ajang “balas budi”, tetapi benar-benar menjadi kesempatan untuk membangun tatanan birokrasi yang lebih progresif dan profesional. Karena Sumbawa Barat tidak hanya butuh Sekda yang bisa bekerja, tetapi juga yang mampu berpikir ke depan. “Jabatan bisa diwariskan, tetapi kepercayaan publik hanya bisa dimenangkan dengan integritas, kinerja, dan keberanian untuk berdiri di atas kepentingan bersama”. (*)