Keterangan : Ketua Gapehani Bima, Muziburrahman saat diwawancarai www.arkifm.com, Ahad 20 April 2025
Mataram. Radio Arki- Geliat bisnis sapi di Nusa Tenggara Barat (NTB) meningkat drastis, terutama dalam setiap momentum menghadapi hari raya kurban. Ironisnya persoalan yang dihadapi selalu saja persoalan klasik yaitu, sulitnya penyebrangan yang tak jarang membuat hewan ternak menunggu berhari-hari di Pelabuhan penyebrangan, khususnya di Dermaga Gili Emas, Lombok Barat.
Pada setiap tahunnya, pengiriman sapi ke Pulau Jawa sedikitnya puluhan ribu ekor. Bahkan di tahun Ketua Gabungan Pengusaha Hewan Nasional Indonesia, Muziburrahman menyebut bahwa ada sekitar 16.136 ekor sapi yang rencananya akan dikirim ke Pulau Jawa. Dengan harga rata-rata terendah Rp20 juta per ekor, angka kasar potensi perputaran uang di sektor ini mencapai Rp300 miliar.

Pelabuhan Gili Mas menjadi bottleneck utama dalam rantai distribusi. Setiap tahun, terutama di puncak musim pengiriman seperti menjelang Idul Adha, antrian panjang truk-truk pengangkut sapi terjadi di pelabuhan ini.
“Kadang truk-truk yang mengangkut sapi bisa tertahan hingga berhari-hari. Ini bukan hanya menyiksa hewan, tapi juga sangat merugikan kami secara ekonomi. Biaya operasional melonjak, dan sapi bisa stres atau bahkan mati di jalan,” ungkap Muziburrahman, saat diwawancarai www.arkifm.com, Ahad 20 April 2025.
Kerugian akibat keterlambatan dan ketidakefisienan ini bisa mencapai ratusan juta rupiah setiap musimnya. Namun, ironisnya, hingga kini belum ada langkah konkret dari pemerintah provinsi untuk mengurai persoalan ini.
Sementara itu, Gubernur NTB, Dr. H. Lalu Muhamad Iqbal, menyoroti permasalahan peternak NTB, khususnya di Pulau Sumbawa, dalam proses pengiriman sapi ke luar daerah yang selalu menumpuk di Pelabuhan Gili Mas. Ia menyatakan bahwa pihaknya telah memerintahkan instansi terkait untuk mengatasi masalah ini dan memastikan kelancaran distribusi sapi ke luar daerah.
Menurut Muziburrahman, permasalahan ini sebenarnya bukan tanpa solusi. Bahkan hanya soal kemauan dan kewenangan yang ada di tangan pemerintah. Kalau pemerintah serius, sangat mudah persoalan ini terselesaikan. Ia menekankan pentingnya peran pemerintah dalam memberikan dukungan nyata terhadap sektor peternakan, tidak hanya dalam bentuk program, tapi juga infrastruktur dan regulasi. Sebab, selama ini para pelaku usaha merasa berjalan sendiri, tanpa payung perlindungan yang jelas.
Padahal, sektor peternakan bukan hanya menyangkut bisnis, tapi juga kehidupan ribuan peternak lokal yang menggantungkan hidup mereka dari beternak sapi.
Bisnis sapi NTB seharusnya bisa menjadi salah satu tulang punggung ekonomi daerah, bahkan nasional. Namun tanpa intervensi dan keberpihakan kebijakan, potensi ini hanya akan menjadi cerita di atas kertas—seperti sapi-sapi yang terus menunggu giliran naik kapal di Gili Mas, tahun demi tahun.
“Kami berharap, pemerintah tidak hanya melihat angka, tapi juga melihat nasib orang-orang di balik bisnis ini,” pungkas Muziburrahman. (admin01. Radio Arki)