Keterangan : Kabid Minerba Dinas ESDM NTB Iwan Setiawan, ST, yang ditemui di ruang kerjanya
Mataram. Radio Arki – Persoalan pertambangan ilegal di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) kembali menjadi sorotan. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi NTB menegaskan bahwa kewenangan untuk melakukan penindakan terhadap aktivitas tambang ilegal bukan lagi berada di tangan pemerintah provinsi, melainkan telah menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum.
Hal ini disampaikan oleh pihak Dinas ESDM NTB sebagai respon atas masih maraknya aktivitas pertambangan tanpa izin di sejumlah wilayah, yang dinilai meresahkan dan berpotensi menimbulkan dampak lingkungan serta sosial yang serius.
“Perlu dipahami bersama bahwa sejak adanya penarikan kewenangan oleh pemerintah pusat, provinsi tidak lagi memiliki otoritas untuk menindak langsung pelaku pertambangan ilegal, terutama yang berkaitan dengan komoditas logam. Jadi kewenangan penindakan itu kini sepenuhnya berada di aparat penegak hukum,” tegas Kabid Minerba Dinas ESDM NTB Iwan Setiawan, ST, yang ditemui di ruang kerjanya, Selasa 22 April 2025.
Ia menambahkan, pihaknya terus mendorong agar aparat penegak hukum dapat bertindak tegas dan cepat dalam menangani aktivitas tambang ilegal yang terbukti melanggar hukum. Menurutnya, pembiaran terhadap aktivitas seperti ini hanya akan memperparah kerusakan lingkungan dan menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Lebih lanjut, Dinas ESDM NTB juga menyinggung persoalan tambang yang berada di wilayah Kecamatan Jereweh, Kabupaten Sumbawa Barat. Meskipun secara administratif wilayah tersebut berada di NTB, namun posisi tambang tersebut sepengatahuannya disebut beririsan dengan wilayah konsesi milik PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PT AMMAN).
“Berdasarkan informasi yang kami miliki, sebagian besar lokasi di Jereweh itu termasuk dalam wilayah konsesi PT AMMAN. Ini menjadi perhatian tersendiri karena dalam konsesi tersebut seharusnya hanya PT AMMAN yang memiliki hak eksplorasi dan eksploitasi,” jelasnya.

Namun tantangan tidak berhenti di situ. Di luar area konsesi, wilayah tersebut juga bersinggungan dengan kawasan hutan lindung, yang memiliki perlindungan hukum ketat. Maka dari itu, apabila ditemukan aktivitas pertambangan di area tersebut tanpa izin resmi, maka penindakannya menjadi ranah Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), bukan lagi ESDM.
“Kawasan hutan lindung memiliki status yang sangat sensitif. Apapun bentuk kegiatan pertambangan di dalamnya, jika tidak mengantongi izin resmi, jelas merupakan pelanggaran. Dan dalam hal ini, LHK memiliki peran penting untuk melakukan pengawasan dan penindakan,” tambahnya.
Dalam ketentuan aturan perundang-undangan, berkaitan dengan pertambangan illegal, sekurang-kurangnya ada tiga potensi kejahatan yang dilakukan, pertama kejahatan lingkungan yang berpotensi dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Kedua dalam konteks aspek kehutanan, kejahatan terhadap kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi Izin Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan (IPPKH) dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Ketiga adalah dalam konteks hukum pertambangan yang telah jelas memberikan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar. (admin01. Radio Arki)