EDITORIAL

Editorial: Mutasi ASN dan Marwah Kepemimpinan ‘Sampongo’, Penganugrahan Adat Kepada Bupati

Sumbawa Barat. Radio Arki- Riuh rendah pelaksanaan mutasi pegawai di lingkup Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) menjadi sorotan publik beberapa hari terakhir. Sebuah kebijakan yang sejatinya biasa dalam ritme pemerintahan, namun menjadi tidak biasa jika diselimuti oleh berbagai tafsir, spekulasi, dan bahkan praduga akan adanya motif di luar upaya penyegaran birokrasi.

Mutasi memang menjadi hak prerogatif kepala daerah, sebagai bagian dari dinamika organisasi. Namun hak itu bukan tanpa batas. Ia dibingkai oleh aturan dan prinsip-prinsip manajemen ASN yang berkeadilan, profesional, dan akuntabel. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN secara jelas menyatakan bahwa mutasi dilakukan atas dasar kesesuaian antara kompetensi PNS dengan persyaratan jabatan, klasifikasi jabatan dan pola karier, serta kebutuhan organisasi. Prinsip ini dibarengi dengan larangan konflik kepentingan yang harus dijadikan pijakan etik dan hukum.

Dalam praktiknya tentu sangat disayangkan JIKA mutasi diwarnai oleh aroma politis yang tajam. Seolah jabatan adalah alat tawar-menawar loyalitas, bukan instrumen pengabdian dan pelayanan. Jika mutasi dilakukan berdasarkan kedekatan pribadi, tekanan politik, atau bahkan untuk tujuan pembungkaman sikap kritis, maka yang terjadi bukan hanya kemunduran birokrasi, tetapi juga pengkhianatan terhadap semangat reformasi dan profesionalisme aparatur.

Belum lagi jika mutasi itu ingin dijadikan sebagai ‘efek jera’ hanya karena ada diantara ASN ataupun sanak saudara dari ASN yang dimutasi itu, terlibat politik praktis dikala itu. Maka sepertinya pemimpin itu adalah machiavelian sejati, seorang diplomat dan politikus tersohor asal Italia dengan bukunya yang terkenal yaitu “The Prince”  dengan salah satu kutipan dalam buku itu tentang kepemimpinan yaitu “sebagai pemimpin itu lebih baik ditakuti daripada dicintai”.   

Kita memang tidak menutup mata bahwa jabatan kepala daerah adalah jabatan politik. Bupati adalah hasil pilihan politik. Namun demikian, dalam konteks lokalitas Samawa, bupati bukan semata pemegang kekuasaan, melainkan pemegang amanah kebudayaan. Dalam adat Tana Samawa, terdapat sebuah gelar yang penuh makna dan tanggung jawab, Sampongo. Sebuah gelar yang tepatnya hari ini yaitu 24 April 2025 dianugrahkan kepada bupati dan wakil bupati Sumbawa Barat.

Keterangan : Bupati Sumbawa Barat dan wakil bupati Sumbawa Barat saat sedang penganugrahan gelar Sampongo

Sampongo, sebuah istilah dalam bahasa Samawa yang berarti pemimpin agung, panutan, dan sosok teladan Masyarakat, bukanlah gelar seremonial. Ia adalah bentuk penghormatan tertinggi dari Lembaga Adat Tana Samawa kepada seseorang yang telah dan akan terus menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dalam menjalankan kekuasaan, keadilan, keberpihakan pada rakyat, dan kepemimpinan yang mengayomi.

Seorang Sampongo bukan hanya memimpin dengan keputusan, tapi juga dengan keteladanan. Ia bukan sekadar “penguasa”, tetapi “pangarsa” yang mendahulukan kepentingan rakyat di atas hasrat pribadi atau kelompok. Maka dari itu, tidak berlebihdan jika siapa pun yang kini menduduki kursi bupati KSB dapat melihat dirinya melalui lensa adat tersebut, bukan sekadar pemimpin administrative apalagi pemimpin politik, melainkan tokoh yang dirujuk nilai oleh masyarakatnya.

Kebijakan mutasi bisa menjadi jalan penguatan organisasi, bila dilandasi oleh integritas dan kehendak untuk memperbaiki system (meritokrasi). Namun akan menjadi racun dalam tubuh birokrasi, bila dimuati motif transaksional dan kepentingan jangka pendek. Kita berharap, hiruk-pikuk mutasi kali ini menjadi pengingat bahwa kepercayaan publik adalah modal utama kepemimpinan. Ketika kepercayaan itu mulai retak oleh kabut kepentingan, maka marwah “Sampongo” pun ikut tercederai.

Sudah saatnya kita menata kembali nilai-nilai dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bahwa di balik setiap keputusan politik, harus berdiri tegak etika dan martabat pemimpin yang benar-benar ingin membangun daerah, bukan memperkuat gengsi dan kekuasaan. Apalagi, dalam setiap kesempatan Bupati dan wakil bupati Sumbawa Barat selalu mengatakan bahwa dirinya adalah pemimpin seluruh rakyat Sumbawa Barat, bahkan dalam kutipan sambutan di idul fitri 1446 H, Bupati Amar Nurmansyah menegaskan bahwa ”Kini saatnya kita meninggalkan perbedaan yang terjadi pada pilkada kemarin, dan kami mengajak seluruh elemen masyarakat, tanpa terkecuali, untuk bersama-sama berpartisipasi membangun daerah kita tercinta Bumi Pariri Lema Bariri, serta memohon doa dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat agar kami diberi kekuatan dalam mengemban amanah ini”.

Bupati sebagai pemimpin punya kebebasan melakukan apa yang diinginkan dengan segala perangkat untuk membenarkan jalannya, termasuk tentang mutasi ASN. Sedangkan ASN juga siap tidak siap pasti akan menerima. Tetapi meski kita ingat bahwa setiap langkah pemimpin akan selalu dikenang, entah itu dengan jalan dicintai atau ditakuti, dan atau menjadi machiavelian atau Sampongo. (*)     

 (Editorial adalah narasi yang berisi pendapat atau pandangan redaksi terhadap suatu isu/masalah aktual)

Related posts

Keberpihakan Disnaker KSB dalam Putusan MK Ketenagakerjaan ?

ArkiFM Friendly Radio

Editorial: “Tutup Lubang Gali Lubang”, Petani Yang Tak Pernah Berdaya…

ArkiFM Friendly Radio

Editorial : Menunggu Ketegasan Pemerintah Terhadap Perusahaan Tambang Ilegal

ArkiFM Friendly Radio

Leave a Comment

You cannot copy content of this page