ARTIKEL

Ketika Agama Disalahgunakan: NTB Darurat Perlindungan Anak

Penulis : Mutya Gustina (Aktivis Perempuan, Pendiri Ruang Perempuan

Agama seharusnya menjadi cahaya yang membimbing manusia menuju kebaikan, bukan topeng untuk menyembunyikan kejahatan. Namun di Kabupaten Lombok Barat, keyakinan suci itu justru dicederai oleh tindakan biadab seorang pimpinan pondok pesantren terhadap puluhan santriwatinya. Dengan membungkus kejahatannya dalam balutan relasi kuasa dan manipulasi keagamaan, pelaku memperdaya korban yang memandangnya sebagai guru, panutan, sekaligus sosok orang tua. Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, peristiwa ini adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur agama dan pendidikan.

Puluhan korban, didampingi Lembaga Perlindungan Anak (LPA), kini berani bersuara, membawa kasus ini ke ranah hukum. Namun perjuangan mereka baru saja dimulai. Dalam kasus yang mencerminkan betapa rapuhnya perlindungan anak di NTB, keadilan harus ditegakkan tanpa kompromi.

Perbuatan pelaku merupakan pelanggaran serius terhadap Hak Asasi Manusia dan harus ditindak dengan tegas berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Proses hukum yang transparan, berkeadilan, dan berpihak kepada korban menjadi kunci untuk memastikan keadilan tercapai. Pemerintah Daerah NTB, khususnya dinas terkait, harus memainkan peran aktif dalam memantau penanganan kasus ini, mengawal proses hukum, serta memastikan korban mendapat dukungan psikologis yang diperlukan untuk pemulihan. Keberanian para korban untuk melapor dan melawan pengaruh pelaku menjadi langkah awal yang sangat penting, namun mereka tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian. Semua pihak, dari aparat penegak hukum hingga masyarakat, harus mendukung dan memastikan proses hukum berjalan tanpa gangguan atau intimidasi.

Kasus ini lebih dari sekadar kejahatan individu. Ini adalah cermin bagaimana lembaga pendidikan, yang seharusnya menjadi benteng perlindungan dan pengetahuan, malah bisa menjadi medan kekerasan. Tindakan pelaku telah merusak rasa aman yang seharusnya menjadi hak setiap anak. Oleh karena itu, semua lembaga pendidikan harus segera mengambil langkah nyata dengan membangun sistem pencegahan kekerasan seksual. Edukasi yang tepat tentang hak-hak anak dan mekanisme pengaduan yang aman harus diterapkan di semua lembaga pendidikan, termasuk pondok pesantren, untuk memastikan tidak ada lagi korban serupa di masa depan. Harus ada sistem yang memungkinkan korban merasa aman dan didengar tanpa rasa takut akan stigma atau pembalasan.

Secara statistik, NTB memang menunjukkan tren peningkatan kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun. Data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP2AP2KB) NTB mencatat: 845 kasus pada 2020, naik menjadi 1.060 kasus pada 2021, 640 kasus di 2022, kembali melonjak ke 1.005 kasus pada 2023, dan hingga awal 2024 tercatat 976 kasus. Angka-angka ini belum sepenuhnya mencerminkan realita, karena banyak korban masih memilih diam karena ketakutan, stigma, atau minimnya dukungan. Laporan-laporan yang tidak terungkap ini menunjukkan betapa mendalamnya masalah kekerasan seksual di masyarakat kita.

Tingginya angka dan meluasnya pola kekerasan menunjukkan satu hal, NTB sedang dalam situasi darurat kekerasan seksual. Kita tidak boleh tinggal diam. Keadaan ini harus menjadi panggilan untuk bertindak dan untuk melindungi mereka yang paling rentan, untuk memberi suara kepada yang tak bersuara. Kita harus berdiri bersama para korban, memperjuangkan keadilan untuk mereka, dan mendorong perubahan sistemik agar tidak ada lagi ruang aman bagi para pelaku kekerasan. Kita juga harus menumbuhkan kesadaran kolektif untuk melindungi generasi mendatang dari kekerasan seksual yang merusak fisik dan mental mereka.

Kita, sebagai masyarakat, harus menjadi pelindung bagi anak-anak kita. Setiap lembaga pendidikan, terutama yang berfokus pada pengajaran agama, harus memahami betul bahwa agama tidak pernah mengajarkan kekerasan atau penindasan. Jika pondok pesantren dan lembaga pendidikan lainnya tidak dapat memberikan perlindungan, maka siapa lagi yang bisa diharapkan?. Mari berperan…

Related posts

Umrah Backpacker, Akankah Diatur Kemenag?

ArkiFM Friendly Radio

Heroisme Pahlawan dan Nasionalisme Pemuda

ArkiFM Friendly Radio

PPKM: Solusi atau Tirani!

Leave a Comment

You cannot copy content of this page