Penulis: Shaffa Nur Salsabilah dan teman teman
Isu kesetaraan gender kerap dibicarakan dalam kerangka perjuangan perempuan untuk memperoleh hak dan pengakuan yang selama ini terpinggirkan. Realitas sejarah memang menunjukkan bahwa perempuan menghadapi berbagai hambatan struktural dalam mengakses pendidikan, pekerjaan, serta posisi pengambilan keputusan. Namun, jika ditelaah lebih cermat, kesetaraan gender sejatinya melibatkan seluruh elemen masyarakat. Ini adalah pilar sosial yang mendukung keseimbangan relasi antarmanusia dan menjadi fondasi penting bagi terwujudnya masyarakat yang sehat dan beradab. Ketika setiap individu mendapatkan hak dan kesempatan tanpa batasan peran berbasis jenis kelamin, maka potensi diri mereka dapat berkembang secara optimal.
Konstruksi peran gender dibentuk oleh nilai budaya, norma sosial, serta warisan sistem patriarki yang cenderung menempatkan laki-laki dalam posisi dominan (Rosyidah & Nurwati, 2019). Sejak usia dini, laki-laki sering diarahkan untuk tampil kuat, menahan emosi, dan menjadi pengambil keputusan dalam keluarga maupun komunitas. Harapan semacam ini menimbulkan tekanan psikologis yang besar dan dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental. Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa secara global, laki-laki menyumbang lebih dari 70% dari total kasus bunuh diri. Meskipun perempuan lebih sering mengalami pikiran bunuh diri dan melakukan percobaan, laki-laki lebih mungkin meninggal karena cenderung menggunakan metode yang lebih mematikan, seperti senjata api dan gantung diri. Selain itu, ketidakmampuan mereka untuk mengekspresikan emosi akibat takut terhadap stigma sosial turut menjadi faktor pemicu.
Kesetaraan gender juga membuka peluang bagi laki-laki untuk berperan aktif dalam pengasuhan anak dan kegiatan domestik (Dewi et al., 2025). Ketika laki-laki terlibat dalam membesarkan anak, hubungan emosional dalam keluarga menjadi lebih kuat dan stabil. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang menghargai peran setara antara ayah dan ibu cenderung memiliki empati yang tinggi, kestabilan emosional yang baik, serta nilai-nilai sosial yang lebih terbuka. Penelitian oleh Ngewa (2021) menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak berkorelasi dengan peningkatan prestasi akademik dan penurunan perilaku bermasalah pada anak.
Di sisi lain, keterlibatan perempuan dalam dunia kerja masih menghadapi berbagai tantangan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan berada di angka 56,42%, jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki yang mencapai 84,66%. Ketimpangan ini mencerminkan adanya hambatan dalam mengakses peluang ekonomi. Perempuan masih kerap mengalami diskriminasi dalam proses rekrutmen, promosi jabatan, serta beban kerja domestik yang tidak proporsional.
Padahal, peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia kerja memberikan dampak positif yang signifikan bagi perekonomian nasional dan global. Laporan McKinsey Global Institute memperkirakan bahwa kesetaraan gender dapat menambah produk domestik bruto dunia sebesar 12 triliun dolar AS pada tahun 2025. Kontribusi perempuan memperluas basis tenaga kerja aktif dan menghadirkan perspektif yang beragam dalam proses pengambilan keputusan. Perusahaan dengan proporsi pemimpin perempuan yang tinggi terbukti memiliki kinerja keuangan yang lebih stabil dan tingkat inovasi yang lebih tinggi.
Kesetaraan gender juga berperan dalam memperkuat stabilitas sosial dan kualitas demokrasi. Negara-negara dengan tingkat kesetaraan gender yang tinggi seperti Islandia, Finlandia, dan Norwegia menunjukkan indeks kebahagiaan yang tinggi, angka kekerasan domestik yang rendah, serta partisipasi publik yang luas dalam politik. Menurut Global Gender Gap Report 2023 yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF), Islandia telah menduduki peringkat pertama dalam indeks kesetaraan gender selama 14 tahun berturut-turut. Pada tahun 2023, Islandia berhasil menutup 91,2% kesenjangan gender, menjadikannya satu-satunya negara yang telah menutup lebih dari 90% kesenjangan tersebut.
Di Indonesia, sejumlah kebijakan untuk mendukung kesetaraan gender telah diterapkan, seperti Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan berbagai program afirmasi di bidang pendidikan dan ketenagakerjaan. Namun, tantangan masih ada, terutama terkait kesenjangan upah. Data BPS per Mei 2025 menunjukkan bahwa rata-rata upah bulanan pekerja laki-laki sebesar Rp3,4 juta, sedangkan perempuan hanya Rp2,6 juta. Selisih ini mencerminkan kesenjangan upah sebesar 22,43%. Kesenjangan tersebut terjadi di berbagai kelompok usia dan tingkat pendidikan, termasuk di kalangan lulusan sarjana, di mana laki-laki rata-rata menerima Rp5,04 juta per bulan, sedangkan perempuan Rp3,75 juta. Fakta ini menandakan bahwa diskriminasi berbasis gender masih mengakar dalam sistem ketenagakerjaan nasional.
Kesetaraan gender merupakan bagian dari prinsip universal bahwa setiap manusia berhak diakui martabatnya secara setara (Nuraeni & Suryono, 2021). Tidak ada individu yang seharusnya dibatasi oleh kategori biologis dalam menentukan jalan hidup dan kontribusinya. Ketika masyarakat menghargai kompetensi, integritas, dan dedikasi tanpa mempermasalahkan identitas gender, maka terciptalah lingkungan sosial yang sehat dan produktif. Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kapasitas untuk memimpin, merawat, dan menginspirasi.
Generasi muda yang tumbuh dalam lingkungan yang menjunjung keadilan gender akan membawa nilai tersebut ke dalam kehidupan sosial dan profesional mereka (Fitriyani et al., 2024). Anak-anak yang menyaksikan orang tua mereka saling mendukung dan menghormati pilihan hidup masing-masing akan memahami bahwa kesetaraan tidak harus diperjuangkan melalui konflik, melainkan melalui kesepahaman dan kerja sama. Pendidikan yang menanamkan nilai kesetaraan sejak usia dini membentuk warga negara yang berpikiran terbuka dan mampu hidup berdampingan dalam masyarakat yang majemuk.
Proses menuju masyarakat yang adil gender adalah perjalanan panjang yang memerlukan kerja kolektif dari individu, keluarga, lembaga pendidikan, institusi pemerintah, hingga sektor swasta. Ini adalah upaya untuk menciptakan keseimbangan relasi sosial yang memuliakan setiap orang, tanpa memandang jenis kelamin. Ketika perempuan dapat menjadi pemimpin tanpa hambatan dan laki-laki dapat merawat tanpa stigma, maka masyarakat akan menjadi lebih utuh, tangguh, dan manusiawi.
Kesetaraan gender bukanlah isu yang berdiri sendiri. Ini adalah bagian dari cita-cita besar tentang dunia yang adil, bermartabat, dan penuh empati. Ketika nilai kesetaraan diterima sebagai dasar kehidupan bersama, maka akan lahir masyarakat yang tidak hanya berkembang secara ekonomi, tetapi juga matang secara sosial dan kuat secara moral.