Keterangan : ilustrasi suasana panen
Sumbawa Barat. Radio Arki- Di tengah musim panen yang seharusnya membawa senyum bagi para petani, justru keluhan demi keluhan bermunculan dari lapangan. Di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), para petani mengeluhkan anjloknya harga gabah yang jauh dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang telah ditetapkan sebesar Rp6.500 per kilogram. Realitasnya? Harga yang mereka dapatkan hanya berkisar Rp5.500/kg, bahkan lebih rendah di sejumlah titik.
Ini bukan semata soal selisih harga. Ini adalah soal keadilan. Soal keberpihakan negara kepada mereka yang selama ini menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional.
HPP sejatinya hadir sebagai bentuk perlindungan negara terhadap petani dari permainan pasar. Sebuah jaminan bahwa ketika panen tiba dan harga jatuh, pemerintah hadir menjadi pembeli terakhir dengan harga yang adil. Namun di lapangan, janji itu tampaknya hanya sekadar formalitas administratif. Tidak hadir sebagai perlindungan nyata.
Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa kebijakan yang seharusnya melindungi, justru gagal dijalankan di lapangan? Petani memahami bahwa pemerintah telah menetapkan HPP. Namun yang mereka lihat justru ketidaksiapan berbagai pihak dalam mengawal kebijakan ini.
Bulog, yang seharusnya menjadi aktor utama dalam menyerap gabah petani, justru menyampaikan berbagai keterbatasan. Kurangnya tenaga kerja, tidak adanya angkutan, hingga prosedur teknis yang lambat, menjadi alasan klasik yang terus diulang tahun demi tahun. Bahkan dalam banyak kasus, Bulog justru tidak turun langsung ke petani, melainkan lebih memilih membeli dari tengkulak atau mitra yang lebih “siap” secara logistik.
Petani pun terjebak dalam rantai distribusi yang panjang dan tidak adil. Mereka tidak punya akses ke pasar yang langsung, tidak punya kendaraan untuk mengangkut gabah ke gudang Bulog, dan ketika harga anjlok, mereka juga tidak punya daya tawar. Dalam kondisi seperti ini, di mana letak kehadiran negara?, akankah petani selalu tidak berdaya?
Lebih ironis lagi, di saat pemerintah gencar memberikan bantuan alat pertanian modern seperti combine harvester, harga gabah justru semakin menyakitkan. Apa artinya alat pertanian jika hasilnya tidak dihargai?. Ini sama dengan Tutup Lubang tetapi Gali Lubang lagi. Kebijakan pengadaan alat pertanian semestinya dibarengi dengan sistem distribusi hasil panen yang adil dan menyeluruh. Tanpa itu, pemberian alat hanyalah solusi tambal sulam. Petani hanya “dibantu” di hulu, namun dibiarkan tenggelam di hilir.
Pemerintah menyebut bahwa setiap kasus harga di bawah HPP harus dilaporkan ke Petugas Penyuluh Lapangan (PPL). Sepertinya konsep ini terbalik, bagaimana mungkin petani yang diminta melaporkan, bukankah seharusnya PPL yang berada dilapangan dan telah mengidentifikasi potensi adanya permainan tengkulak. Apalagi dengan alasan keterbasan sumber daya pekerja dan angkutan. ini seperti bermain dalam pertandingan yang aturannya tidak jelas, wasitnya tidak hadir, dan lawannya tidak terlihat.
Jika pemerintah serius menjaga ketahanan pangan, maka harus dimulai dari menjaga petaninya. HPP harus benar-benar dijalankan, bukan hanya diumumkan. Bulog harus dibenahi secara struktural dan operasional, agar bisa menjadi institusi penyerap hasil pertanian yang bisa diandalkan.

Pemerintah daerah pun tak bisa hanya menunggu laporan. Mereka harus proaktif memetakan titik-titik rawan anjloknya harga, menyiapkan logistik, dan menjembatani antara petani dan pembeli. Selain itu, perlu ada transparansi dan akuntabilitas dalam setiap mekanisme serapan. Siapa yang menyerap? Di mana titik serapnya? Bagaimana logistiknya? Ini semua harus jelas dan bisa diawasi publik.
Kita terlalu sering menyebut petani sebagai pahlawan pangan. Tapi terlalu jarang memperlakukan mereka layaknya pahlawan. Jika pemerintah terus gagal memastikan harga yang layak, jika Bulog terus gagap dalam menyerap gabah, maka program penguatan ketahanan pangan oleh presiden hanyalah “omon omon“.
Ketika itu terjadi, mimpi tentang kedaulatan pangan hanya akan menjadi dongeng muram bagi daerah dengan hamparan lahan pertanian yang luas ini, bukan karena gagal panen, tetapi karena gagal dilindungi. Apalagi pemerintah bahkan mengakui bahwa pasar saat ini masih banyak dikuasai oleh tengkulak dan peleleh, pemerintah seperti mati langkah.
Lantas, apakah ini hanya akan menjadi masalah klasik, tentu semuanya tergantung soliditas stanckholder, membaca ini sebenarnya sangat sederhana, siapa yang paling diuntungkan dengan keadaan ini, yaitu harga gabah rendah tetapi serapan di bulog juga rendah, masih 1.500 Ton dari 36.000 ton yang ditargetkan?. Berarti bisa jadi memang ada permainan pasar yang sengaja dibiarkan, kalau tidak, masa iya negara selemah itu…()