EDITORIALNEWS

Editorial: Ironi ‘Hari Buruh’ di Sumbawa Barat, Saat Kebobrokan Dirayakan….

Keterangan : ilustrasi hari buruh internasional

Sumbawa Barat. Radio Arki- Tanggal 1 Mei, dunia berhenti sejenak untuk memberi penghormatan kepada buruh, pekerja dari berbagai sektor yang menjadi penopang utama kehidupan ekonomi, sosial, dan bahkan peradaban. Hari Buruh Internasional, atau yang akrab disebut May Day, lahir dari sejarah panjang perjuangan melawan eksploitasi dan ketimpangan. Di balik peringatannya terkandung semangat perlawanan terhadap sistem yang menindas, simbol solidaritas melawan kesewenang-wenangan perusahaan, serta pengingat bahwa hak pekerja bukan hadiah, tapi hasil perjuangan panjang.

Namun, ketika kita menengok peringatan May Day di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) tahun ini, semangat itu terasa jauh dari jangkauan. Yang tampak bukan refleksi atas perjuangan dan pengorbanan buruh, tetapi justru pemandangan menyedihkan tentang bagaimana sistem ketenagakerjaan dikelola secara buruk, bahkan mencederai nilai-nilai dasar keadilan sosial.

Peringatan May Day di KSB tahun ini dibayangi oleh pengakuan mengejutkan dari pemerintah, tidak ada anggaran untuk menyelenggarakannya. Sebuah pernyataan yang menunjukkan betapa ketenagakerjaan bukan menjadi prioritas. Pemerintah, yang semestinya menjadi pelindung utama hak-hak buruh, justru menempatkan diri sebagai pihak yang tak berdaya, dan bahkan bergantung pada Perusahaan, entitas yang seharusnya diawasi dan diimbangi.

Ketika peringatan perjuangan buruh didanai oleh perusahaan, bagaimana mungkin kita berharap adanya objektivitas dan keberpihakan pada buruh? Bagaimana mungkin kritik terhadap kebijakan atau praktik perusahaan bisa disuarakan lantang dalam forum yang biayanya dikeluarkan oleh pihak yang sedang dikritik? Situasi ini bukan hanya menciptakan konflik kepentingan, tetapi juga menimbulkan potensi pelanggaran etik dan moral. Apalagi kondisi itu juga sempat diwarnai dugaan pungutan liar dalam pelaksanaannya. Jika benar, maka bukan hanya pemerintah yang kehilangan wibawa, tapi juga telah mempermalukan makna Hari Buruh itu sendiri.

Salah satu isu yang paling mencolok dan mencederai rasa keadilan adalah praktik pemutusan hubungan kerja (PHK) terselubung yang dikemas dalam bentuk pemindahan ke daerah lain atau mutasi. Sepertinya ini menjadi praktek pilu, karena dinas tenaga kerja tak mampu untuk mencegah itu, bagaimana mungkin pemeritnah sibuk untuk mendorong lapangan pekerjaan tetapi di sisi lain tak mampu untuk menutup modus jahat tersebut.

 

Modus seperti ini bukan hanya tak bermoral, tapi juga merupakan bentuk penindasan yang canggih dan terselubung. Ironisnya, pemerintah daerah belum menunjukkan langkah konkret untuk mencegah atau menindak praktik ini. Dinas tenaga kerja hanya menjadi penonton pasif, tidak jarang berlindung di balik prosedur panjang yang justru memperlambat proses keadilan bagi buruh.

Kondisi buruh yang semakin rentan tentu menuntut kehadiran serikat pekerja yang kuat. Namun di KSB, keberadaan serikat pekerja masih terpinggirkan dan lumpuh secara fungsi. Pemerintah daerah tidak pernah secara serius mendorong pembentukan serikat, atau memang bisa jadi sedang menikmati keadaan itu?.

Pernyataan itu mungkin terlihat mengada-ada, tetapi sangat sulit untuk tidak mengarahkan kesimpulan bahwa pemerintah sedang menikmati kondisi ini. Bukankah Pemerintah punya tanggung jawab moral dan hukum untuk menjamin kebebasan berserikat, termasuk dengan menyediakan ruang, informasi, dan perlindungan bagi para penggagasnya. Tentu ketika menutup mata atas matinya serikat buruh sama saja dengan membiarkan pekerja menghadapi pemilik modal dalam kondisi telanjang, tanpa payung hukum, tanpa suara kolektif, tanpa pelindung.

Sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang seharusnya menjadi jalur damai dan adil bagi buruh justru tak jarang menjadi jebakan hukum yang mempersulit keadilan. Dalam salah satu kasus yang terjadi di KSB, Dinas tenaga kerja berdalih bahwa belum mengeluarkan anjuran karena hasil mediasi menyarankan untuk kembali ke mekanisme bipartit. Ini adalah kegagalan logika yang fatal. Bagaimana mungkin mediasi menganjurkan bipartit?

Dalam struktur hukum ketenagakerjaan, mediasi dilakukan jika bipartit gagal. Artinya, jika mediasi sudah dimulai, maka proses bipartit dianggap telah mencapai jalan buntu. Mengembalikan proses ke tahap awal seperti ini tidak hanya menunjukkan lemahnya pemahaman hukum, tetapi juga memperpanjang penderitaan buruh yang sedang mencari kejelasan nasib.

Kita mungkin melihat baliho besar di jalan-jalan bertuliskan “Selamat Hari Buruh”. Kita mungkin mendengar pidato-pidato manis dari para pejabat yang memuji kontribusi buruh bagi pembangunan. Tapi semua itu hanya simbol. Di balik baliho itu, buruh tetap digaji di bawah standar, tetap di-PHK tanpa keadilan, tetap tidak memiliki kekuatan berunding, dan tetap menghadapi hukum yang lambat dan tumpul terhadap yang kuat.

May Day di KSB telah kehilangan makna. Ia tak lagi menjadi peringatan perjuangan, melainkan perayaan semu yang menutupi luka. Buruh tidak butuh panggung hiburan, tidak perlu panggung ucapan terima kasih yang palsu. Yang mereka butuhkan adalah perlindungan nyata, keadilan substantif, dan keberanian pemerintah untuk berdiri di pihak buruh, menjaga keseimbangan. Bukan minta tolong kepada Perusahaan? Ironi….(*)

(Editorial adalah pandangan atau narasi dari redaksi terhadap suatu peristiwa, isu, atau masalah yang sedang hangat diperbincangkan)

Related posts

Pemerintah Kecamatan Taliwang Mengucapkan Selamat dan Sukses Atas Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Periode 2024 – 2029

ArkiFM Friendly Radio

Maulid Nabi Muhammad SAW di Maluk Semarak, Datangkan Dai Kondang

ArkiFM Friendly Radio

KPU Umumkan Tidak Ada Calon Perorangan Pada Pilkada KSB

ArkiFM Friendly Radio

Leave a Comment

You cannot copy content of this page