Keterangan : hakim MK saat membacakan putusan tentang larangan pemerintah melaporkan pencemaran nama baik (Sumber. website MK)
Jakarta. Radio Arki- Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil yang diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, seorang warga Karimunjawa, Kabupaten Jepara, terkait Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang PerubaDan han Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Permohonan tersebut berkaitan dengan kritik yang dianggap mengandung unsur pencemaran nama baik dalam konteks hukum elektronik, dimana pemerintah dan lembaga termasuk korporasi tidak bisa menjadi pelapor dalam perkara tersebut.
Sidang Pengucapan Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo ini digelar pada Selasa, 29 April 2025, di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam keputusan tersebut, MK menyampaikan beberapa pertimbangan penting yang menegaskan perlunya perlindungan terhadap kebebasan berekspresi sekaligus membatasi potensi penyalahgunaan hukum terhadap individu.
Dalam pembacaan pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, MK menilai bahwa kritik yang muncul dalam kaitannya dengan Pasal 27A UU ITE merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap kepentingan publik. Oleh karena itu, penerapan Pasal 27A UU ITE harus mengacu pada ketentuan Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur tentang pencemaran nama baik terhadap individu atau orang perseorangan, bukan terhadap lembaga atau korporasi.
“Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (5) UU ITE mengatur mengenai tindak pidana aduan (delik aduan), yang hanya dapat diproses apabila ada pengaduan dari korban atau orang yang terkena pencemaran nama baik tersebut,” ujar Arif membacakan putusan.
Dalam hal ini, lanjut Arief, jika yang dicemarkan adalah badan hukum atau lembaga, maka badan hukum tersebut tidak dapat menjadi pihak pengadu. Hanya individu yang dapat mengajukan laporan jika nama baik mereka dicemarkan melalui media elektronik.
Dengan demikian, Mahkamah mengingatkan pentingnya kepastian hukum dalam penerapan Pasal 27A. Frasa “orang lain” dalam pasal tersebut harus dimaknai secara sempit sebagai individu atau perseorangan. Dengan demikian, lembaga pemerintah, kelompok orang dengan identitas tertentu, atau korporasi tidak dapat menjadi korban pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27A, sebagaimana ditegaskan dalam keputusan MK yang menyatakan bahwa Pasal 27A UU ITE inkonstitusional secara bersyarat, sepanjang frasa “orang lain” tidak dimaknai sebagai lembaga, korporasi, atau kelompok tertentu.
Selain itu, MK juga memberikan penjelasan mengenai frasa “suatu hal” yang terdapat dalam Pasal 27A UU ITE. MK menganggap bahwa penggunaan frasa “suatu hal” dalam norma tersebut berpotensi menimbulkan multitafsir yang dapat menyebabkan kerancuan antara pencemaran nama baik dengan penghinaan biasa. Pasal 27A sendiri mengatur larangan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan menuduhkan suatu hal melalui sistem elektronik, namun tanpa penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan “suatu hal”. Frasa ini sangat umum, dapat merujuk pada banyak hal, seperti peristiwa, urusan, atau masalah, yang jika tidak diberi batasan yang jelas bisa membingungkan dalam penegakannya.

“frasa ‘suatu hal’ dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE harus dibatasi, agar tidak menimbulkan kerancuan. Untuk menjaga kepastian hukum dan menghindari penyalahgunaan hukum pidana sebagai instrumen pembungkaman kebebasan berekspresi, MK memutuskan bahwa frasa tersebut harus dimaknai secara lebih ketat sebagai “suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang.” tegasnya
Pada bagian selanjutnya, MK memberikan penjelasan mengenai frasa “tanpa hak” yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) UU ITE. Pasal ini mengatur tentang tindakan melawan hukum yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehormatan dan martabat seseorang. Frasa “tanpa hak” dimaksudkan untuk melindungi hak asasi manusia, terutama bagi profesi yang memiliki perlindungan hukum khusus, seperti pers, peneliti, dan aparat penegak hukum.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa frasa “tanpa hak” ini diperlukan untuk melindungi kebebasan berekspresi, sambil tetap menjaga agar tidak ada pihak yang menyalahgunakan kebebasan tersebut untuk menyebarkan ujaran kebencian atau konten yang merugikan pihak lain. Sejalan dengan itu, MK menegaskan bahwa frasa “tanpa hak” harus dibaca dalam konteks distribusi atau transmisi konten yang melanggar hukum, bukan tentang siapa yang berhak atau tidak berhak untuk berbicara mengenai isu-isu tertentu. (Admin01. Radio Arki)