ARTIKEL

HUKUMAN MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

Penulis: Rajab Ahirullah

Masalah korupsi ini sangat mengkhawatirkan, karena dapat menghancurkan sistem kehidupan sosial, yang secara tidak lansung mengganggu dan memperlemah ketahanan nasional sebuah negara, serta eksistensi suatu bangsa. Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang tergolong dalam pidana yang sanagat besar, karena sangat merugikan bangsa dan negara dalam suatu wilayah.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, dapat dipidana mati atau dijatuhi hukuman mati apabila pelaku korupsi melakukan perbuatan tersebut di saat negara sedang dalam keadaan krisis, bencana alam, ataupun dalam keadaan tertentu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Jadi korupsi ini merupakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat yang merugikan negara untuk keuntungan dirinya sendiri maupun orang lain. Adapun pengertian korupsi ini sendiri dapat di lihat dari beberapa pendapat diantaranya dari Andi Hamzah : “Korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpang dari kesucian, kata–kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.”. Karena perbuatannya dapat merugikan orang banyak bahkan dapat membahayakan stabilitas negara, dan perbuatan tersebut dimasukkan kedalam pelanggaran berat.

Jadi Tindak Pidana Korupsi ini dimasukkan ke dalam kejahatan luar biasa. Seiring dengan berjalannya waktu, Korupsi di negeri ini sudah sangat parah, hampir setiap hari cerita korupsi ditonton dan didengar melalui media masa oleh masyarakat. Pelaku tindak pidana korupsi datang silih berganti, belum tuntas satu kasus datang lagi kasus yang lain. Bahkan mereka tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Akibatnya berita tangkap tangan tersebut mejadi isu nasional, bahkan mungkin menjadi isu hukum internasional. Isu tangkap tangan oleh komisi pemberantasan korupsi ini bahkan mengalahkan isu kejahatan lain yang muncul dalam ranah hukum Indonesia. Hal ini dikarenakan, ada suatu stigma masyarakat bahwa pejabat yang memiliki track record baik tidak akan mungkin melakukan tindak pidana korupsi. Namun pada kenyataannya, banyak pejabat yang tertangkap tangan oleh KPK sedang melakukan tindak pidana korupsi.

Tindak Pidana Korupsi ini sudah terjadi pada beberapa bidang, baik dari kalangan menteri (eksekutif), legislatif maupun yudikatif, yang dikenal dengan Korupsi Birokratis, yaitu korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang memegang jabatan atau kelembagaan negara. Tingginya kejahatan korupsi ini menyebabkan kejahatan tersebut masuk dalam Kejahatan Luar Biasa atau Extra Ordinary Crime.

Sebagai kejahatan yang luar biasa, tentu penanganannya harus tidak sama dengan pidana biasa, sesuai dengan ketentuan dalam hukum pidana umum. Diterapkannya tindak pidana korupsi dalam kejahatan luar biasa atau disebut Extra Ordinary Crime dalam hukum pidana, menyebabkan bahwa dalam upaya pemberantasan korupsi dibutuhkan suatu hukuman khusus yang menyimpang dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ataupun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dikarenakan korupsi merupakan pidana luar biasa dan harus didahulukan dari pidana lainnya.

Tulisan ini juga bersumber dari berbagai diskusi-diskusi dan bersumber dari berbagai buku-buku yang saya baca dan juga berita-berita mengenai hukuman mati bagi tindak pidana korupsi. Setelah dilakukan analisa, hukuman mati bagi tindak pidana korupsi dalam keadaan negara krisis, bencana alam, ataupun keadaan tertentu masih menjadi kejahatan berat yang ada di Negara Republik Indonesia karena tertuang di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan uraian di atas, maka tulisan ini saya buat untuk menguraikan dan menganalisa kejahatan korupsi dengan penerapan hukuman mati, dan ini merupakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktriner. Pendekatan yang saya gunakan untuk mengkaji tentang penerapan hukuman mati bagi tindak pidana korupsi ini tidak diperoleh secara langsung dari lapangan, melainkan dari berbagai buku, arsip, dokumen, dan Peraturan Perundang–Undangan.

Negara Indonesia adalah negara hukum. Seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sudah pasti hukum lah yang akan menjadi panglima tertinggi. Oleh karenanya, supermasi hukum harus tetap dijunjung tinggi oleh anak bangsa negeri ini. Hal ini bertujuan agar kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Dan sebagai negara hukum maka harus dipahami dan dikembangkan hukum tersebut sebagai suatu kesatuan sistem yang mencakup keseluruhan yang mengatur negeri ini.

Negara hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.

Menurut Aristoteles, bahwa yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik tidaknya suatu Peraturan Undang-Undangan dan membuat undang-undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan Pemerintahan Negara. Oleh karena itu, bahwa yang penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.

Indonesia sebagai negara hukum sperti yang tertuang dalam konstitusi, artinya hukumlah yang menjadi panglima tertinggi yaitu memperhatikan asas-asas hukum, dan menjalankan prinsip hokum, yaitu, Kesetaraan di hadapan hukum (Equality Before The Law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (Due Process Of Law). Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama (Equal Protection) atau persamaan dalam hukum (Equality Before The Law).

Menurut Dicey, bahwa berlakunya konsep kesetaraan di hadapan hukum (Equality Before The Law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan tidak seorang pun berada di atas hukum (Above The Law). Istilah Due Process Of Law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus dilakukan secara adil. Konsep Due Process Of Law sebenarnya terdapat dalam konsep hak-hak fundamental (Fundamental Rights) dan konsep kemerdekaan/ kebebasaan yang tertib (Ordered Liberty).

Konsep Due Process Of Law yang prosedural pada dasarnya didasari atas konsep hukum tentang “keadilan yang fundamental” (Fundamental Fairness). Perkembangan, Due Process Of Law yang prosedural merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan oleh pihak yang berwenang, misalnya dengan kewajiban membawa Surat Perintah yang sah, memberikan pemberitahuan yang pantas, kesempatan yang layak untuk membela diri termasuk memakai tenaga ahli seperti pengacara bila diperlukan, menghadirkan saksi-saksi yang cukup, memberikan ganti rugi yang layak dengan proses negosiasi atau musyawarah yang pantas, yang harus dilakukan manakala berhadapan dengan hal-hal yang dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia, seperti hak untuk hidup, hak untuk kemerdekaan atau kebebasan (Liberty), hak atas kepemilikan benda, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk beragama, hak untuk bekerja dan mencari penghidupan yang layak, hak pilih, hak untuk berpergian ke mana dia suka, hak atas privasi, hak atas perlakuan yang sama (Equal Protection) dan hak-hak fundamental lainnya.

Dalam prinsip negara hukum penerapan Due Process Of Law mengharuskan adanya pemberlakuan asas legalitas dalam segala bentuknya, yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas Peraturan Perundang-Undangan yang sah dan tertulis. Dalam kasus korupsi, implementasi Due Process Of Law sebenarnya dapat dilakukan dengan menerapkan pidana mati kepada pelaku korupsi dalam keadaan tertentu. Sebab penjatuhan hukuman tersebut sudah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Tinggal saat ini bagaimana Undang-Undang tersebut diimplementasikan dalam proses penegakan hukumnya. Selama undang-undang tidak kalah dengan kekuasaan, maka prinsip Indonesia sebagai negara hukum akan terwujud dengan baik, karena hukum tidak tunduk kepada kekuasaan.

DAFTAR PUSTAKA
Jesi Aryanto, Legitimasi Hukuman Mati di Indonesia dalam Kaitannya dengan Hak Hidup, Jurnal Hukum Adil, Fakultas Hukum Universitas Yarsi, Jakarta, Volume 2 No. 2 Agustus 2011
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Sinar Bakti, 1988).
undang – undang nomor 31 tahun 1999
undang – undang nomor 20 tahun 2001

Related posts

Sumbawa Barat Darurat Narkoba; Putus Mata Rantai dan Lakukan Pembinaan

ArkiFM Friendly Radio

Manimbang Kahariady : DPRD KSB Harus Tetap Membangun Wibawa

ArkiFM Friendly Radio

Siapa Sosok Potensial dibalik Rivalitas ?

ArkiFM Friendly Radio