Mataram. Radio Arki – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram), Prof. Zainal Asikin, kembali meluruskan, bantahan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) NTB, beberapa hari yang lalu dinilai kritiknya tidak subtatif, terhadap kedisiplinan Dewan. Sesungguhnya kritikannya itu berangkat dari penilaian Badan Kehormatan Dewan (BKD) atas kedisiplinan yang ada dimasing-masing Anggota.
“Yang saya sampaikan itu, datang dari BKD, bukan hadir dari pribadi. Kebetulan saya diminta sebagai tim perumus aturan kode etik dewan, bersama prof. Gatot,”ucap Ketua Program Studi S2 Fakultas Hukum Unram, Kamis (16/1) kemarin.
Bahwa menurut BKD sendiri harus ada aturan kode etik yang mesti diterapkan, untuk kedisiplinan anggota Dewan. Agar tidak serampangan disaat mereka masuk kantor. Misalnya pada saat mereka hadir rapat menggunakan busana bebas, seperti Jeans dan jaket. Padahal semua anggota Dewan itu, sudah dibagikan pakaian dinas harian berupa Full Dress yang itu dibelikan dari uang Negara. Juga tidak hanya masalah kerapian berpakain, akan tetapi taat waktu itu menjadi penting.
“Disiplin maksudnya mereka tidak berpakaian Jeans dan selalu taat waktu,”bebernya.
Lebih lanjut, Asikin menambahkan, ternyata banyak anggota dewan yang tidak mengerti tata tertib (Tatib) sidang dan rapat-rapat. Padahal kalau kembali membuka Pasal 116 Perda Nomor 1 tahun 2019 Tentang tata tertib DPRD. Jelas bicara mekanisme sidang yang baik dan benar. Disaat rapat Pleno atau Paripurna berlangsung masih riuh dengan adanya intrupsi. Mestinya itu rapat pengesahan, bukan lagi pembahasan, kesannya seperti pasar tanah abang.
“Masih banyak anggota Dewan yang melakukan interupsi, padahal debat dan interupsi bukan di rapat Paripurna. Harusnya pembahasan dan perdebatan-perdepatan selesai dirapat Komisi, rapat Fraksi dan rapat khusus lainnya,”jelasnya.
Sedari awal persoalan-persoalan tersebut, ia telah memberikan masukan kepada BKD agar segera dibuatkan aturan kode etik yang bisa dipatuhi semua anggota DPRD NTB.
“Karena sejauh ini, mereka terlihat serius dan segera menerbitkan aturan kode etik dewan,”ungkapnya.
Ia berharap, ketika nanti pembahasan kode etik, para anggota Dewan menerima demi perbaikan instusinya sendiri. Sisi lain, dia pun mengakui bahwa memang Dewan itu tidak sama dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang kesehariannya itu kerja-kerja Birokratis.
Namun baiknya tidak ada yang saling mencuriagai atau menjustifikasi, sebelum semuanya dibahas secara bersama-sama.
Sebagai pengingat, kritikan itu datang dari Politisi PKB, Akhdiansyah, bahwa DPRD itu Politisi itu bukan ASN. Yang kesehariannya harus memakai searagam. Mestinya itu tidak menjadi ukuran, tapi kualitasnya kerjanya yang harus dinilai. (M Arif. Radio Arki)