(Penulis : Satria Madisa)
Milan Kundera mengatakan perjuangan menentang kuasa, iyalah perjuangan ingatan melawan lupa. Nazwa Syihab menuturkan memori itu benteng terakhir rakyat yang tak bisa di dikte kuasa. Pramoedya Ananta Toer berdesah, setiap ketidakadilan harus di lawan mesti dalam hati.
Percikan pikiran-pikiran diatas, mengandung nuansa perlawanan. Bahkan, perlawanan tanpa meninggalkan jejak. ‘Membangun kekuatan pikiran, membentengi memori untuk terus ‘mengenang’. Sisanya urusan hati. Urusan perasaan.
Percikan pikiran yang penulis kutip, menegaskan makna, jalan perlawanan lebih megah, beradab, dan terhormat dipilih daripada menjilati kemaluan kekuasaan yang despotik (merusak), zhalim, lalim, dan menindas. Tak peduli ‘pakaiannya’ pancasila, demokrasi, kapitalistik, komunistik, fasis, feodal, selama menindas mesti mengobral ‘kemewahan’ dan kekayaan. Melawan iyalah keniscayaan dan pilihan ideal terpelajar.
Pepatah China yang mengatakan, Anjing dan Kucing pun menghormati orang yang berkuasa benar adanya. Namun, sejarah tidak lupa menulis cerita para pembangkang, yang tidak nyaman menjadi anjing dan kucing demi membahagiakan junjungannya.
Dalam konteks Tani Melawan, jalan perlawanan iyalah keniscayaan. Sebelum itu saya mengajak anda, sejenak melupakan lima tahun bantuan subsidi benih pertanian di bima ini sampai dalam keadaan siluman, palsu, membusuk, hingga jadi pakan ternak. Melupakan bagaimana lima tahun pupuk bersubsidi dirampok kiri kanan, dijarah siang dan malam, dipaketkan tanpa pijakan yang benar.
Singkatnya melupakan seluruh rangkaian penelantaran hingga perampokan petani, mulai proses menanam hingga proses panen. Hanya sejenak saja. Besok lusa kita mulai paksa ingatan melawan lupa. Besok lusa, benteng memori kembali diperkuat. Besok lusa, hati kita dibudayakan melawan. Dalam diam. Dalam suara. Atau dalam do’a. Itupun ketika suara tak lagi berdaya, pena kehabisan tintanya.
Saya mengajak anda untuk memutar jarum jam. Hingga imajinasi kita pergi ke tahun 2007. Lalu menerawang kedepan, hingga imajinasi kita pergi ke tahun 2025. Lalu lihat kondisi objektif kita hari ini. Bagaimana wajahnya ibu bapak kita yang petani, hidup di tanah kolonial ini?
Hari ini, tangal ini, tahun ini penanda dan penyangga, kita mengotak atik pikiran. Dari 2020 pergi ke 2007 itu selisih waktu 13 Tahun. Setidaknya ada dua kali pergantian rezim. Sedang dari 2020 pergi ke 2025 ada selisih waktu 5 Tahun. Satu kali pergantian rezim di Pemda. Bagaiamana suasana pemikiran dan perasaan mencerna itu, setelah merefleksi masa lalu dan mengimajinasikan masa depan ibu-bapak kita yang petani?
Sekarang saja. Gema Pilkada 2020 kini mendominasi ruang publik. Mulai manusia hingga robot unjuk gigi lantuntkan sumpah serapah. Tak jarang berternak kebodohan dan pembohongan. Tidak bosankah kita lihat obral opera, sandiwara, dagelan-dagelan, janji-janji, iklan demi iklan, senyuman demi senyuman palsu mereka yang mau berkuasa itu?
Mulai dari tema kesejahteraan, hingga pra-kondisi nikmatnya hidup, saat mereka berkuasa dilukiskan secara telanjang. Politisi bak para dewa yang turun, ditengah-tengah kesenjangan manusia di bumi, setelah dililit kemarau panjang. Begitu Dewa itu turun, seketika itu turunnya hujan, tanaman mulai bertumbuh, lalu mekar, menampakan suasana hijau yang indah, dan manusia itu berkata, terimakasih dewa, sembari membungkukan badan tanda menegaskan hormat.
Sadar atau tidak. Kita sudah lupa benih busuk, pupuk bersubsidi ‘rampok’ dan komoditas pertaian yang selalu anjlok harganya, demi ngomong politik, yang tidak autentik itu.
Sayang, drama penindasan tetap jadi proyek habis-habisan. Tetap saja petani di lintah. Logikanya, mereka perlu dana basah untuk tetap terjaga. Setelah para elit terkuras dananya demi pilkada, pileg, dan sejenisnya. Petani siapkan itu. Bukankah atas nama petani, negara begitu cepat memenuhi permintaan dan proposal penyelenggara urusan daerah?
Dana itu bisa soal pemangkasan, atau mengesploitasi keringat. Itulah rasionalitasnya kita menikmati perilaku penindasan yang sama polanya, sebagaimana ‘ritual agama’ yang diselenggarakan secara berulang-ulang.
Tapi mari kita lupakan itu. Saya mengajak anda untuk seirama, untuk pergi ke gerbang waktu. Tiga Belas Tahun Lalu (13) di Bima ini, melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bima 2006-2025 sudah
ditanam pikiran, visi, dan gambar besar pembangunan kabupaten Bima. Dalam Pasal 12 menyebutkan Rencana Pusat-Pusat Pengembangan Wilayah (SWP) dibagi menjadi empat bagian yakni Timur, Utara, Barat dan Selatan. Dalam Pasal 13 menyebutkan fungsi SWP.
Begini rinciannya. SWP bagian Timur (Wawo, Sape dan Lambu) berfungsi sebagai pengembangan perikanan, pariwisata,
pertanian, perkebunan, industri maritim, pendidikan dan permukiman (Pasal 13 poin a). SWP bagian Utara (Wera dan Ambalawi) berfungsi sebagai pengembangan permukiman, pariwisata, pertanian, dan peternakan. SWP bagian barat (Donggo, Soromandi, Bolo dan Madapangga) sebagai pengembangan permukiman, pariwisata
perkebunan, pertanian, agroindustri dan pusat pendidikan. Dan SWP bagian Selatan (Woha, Palibelo, Monta, Lambitu, Parado, dan Langgudu) berfungsi sebagai pengembangan permukiman, pariwisata, pertanian, dan peternakan.
Mencermati RTRW Kabupaten Bima, daerah ini sudah ‘selesai’ dengan gambar besar. Tentang bagaimana rule model membangun bima berdasarkan potensi-potensi sumber daya alam dan sosio-geografis setiap wilayah Kecamatan. Tentang bagaimana menghadirkan kesejahteraan masyarakat dan mengharumkan nama daerah dalam pergaulan daerah-daerah di NKRI ini.
Mencermati ini secara mendalam (reflektif) menunjukan bagaimana kemegahan peradaban daerah ini. Pikiran yang melampaui zaman sudah ditanam. Tentang bagaimana daerah dibangun dimulai dari pintu peradaban (ilmu pengetahuan).
Mencermati ini juga ‘ketahuan’ bagaimana pikiran brilian yang ditanam itu tak bisa bertumbuh baik dan berbuah kebaikan untuk masyarakat dan daerah.
Mencermati ini, daerah kita tak punya masalah dari pikiran. Sebagaimana kondisi objektif petani di rezim ‘Bima Ramah’ yang selalu saja bermasalah mulai dari pikiran (benih).
***
Pikiran brilian (agroindustri) itu sudah ditanam. Mengapa benih; busuk, siluman, palsu dan dijadikan pakan ternak, lalu berbuah korupsi. Di Bima kolonial ini, benih bawang dan benih jagung, rawan dikorupsi. Kita tak lupa korupsi pengadaan benih bawang merah, dan mekarnya korupsi benih jagung di Kejagung (Kejaksaan Agung).
Pikiran brilian itu telah ditanam, mengapa ada pupuk bersubsidi dijual tidak sesuai HET lalu dijepit penjualan paket selama lima tahun?
Pikiran brilian itu telah ditanam, mengapa komoditas pertanian tidak terjaga, dilanda pengaturan harga. Tidakkah penguasa kolonial itu tahu, cara menerapkan konsep agro-industri, hingga petani bima dirundung kolonialisasi dan menjadi tahanan politik yang diperah setiap saat itu. Masalahnya ada dimana, kok susah sekali Pemda berbuat baik untuk petani?
Apakah karena pikiran itu tidak dipahami rezim sekarang, hingga tidak dipupuk? Bisa jadi rezim (bima ramah) mengalami masalah yang sama dengan petani. Harga pupuk membumbung tinggi, nalarnya ‘paketan’ karena terjadi kelangkaan pupuk (pikiran). Hingga pikiran itu tak bisa tumbuh dengan baik dan berbuah kebaikan. Untuk masyarakat dan daerah.
Atau pupuknya terjaga, hamanya (tengkulak ladang) yang biasanya ulat, monyet, dan babi itu terlalu berkuasa? ataukah memang sudah tidak dipupuk, tidak dirawat, hamanya berkuasa dalam satu paket, bahkan ketika penguasanya (petani) seolah menjaga? Sebagaimana ladang jagung, sudah dijaga melalui pagar yang kuat, dari para babi dan monyet itu, ada sentral penjagaanya (Salaja/Barugak) tapi pintunya dibiarkan terbuka?
Begitu monyet dan babi masuk. Penjaganya pura-pura tak melihat. Karena tak melihat, ya tak menutup pintu, lalu tidak mengusir/membunuh. Alhasil monyet dan babi itu menguasai semua yang ada dalam ladang. Termasuk penjaganya. Pemiliknya.
Wallahualam. Publik yang menilai. Silahkan baca RTRW itu dan lihat kondisi kecamatan masing-masing. Setelah itu lihat bagaimana wajah daerah kita. Maniskah atau buruk rupa?
Kepentingan saya dalam menulis ini, iyalah membongkar bagaimana kondisi sektor pertanian kita.
Krisis Otak, Tubuh Tuna
Kecematan Donggo, Soromandi, Bolo dan Madapangga telah diletakan sebagai sentral sektor pertanian. Agro-industri tujuan besarnya. Sejak 13 tahun lalu pikiran itu ditanam. Apa yang terjadi sekarang. Bagaimana kondisi sektor pertanian, lima tahun ini, sudah adakah ‘tanda’ dari konsep agroindustri? demikian juga prestasinya.
Menurut saya terjadi paradoks luarbiasa hebat. Kondisi sektor pertanian ‘buruk rupa’. Prestasinya nihil. Kecuali ‘camplok’ prestasi orang. Saya baca LKPJ tiap tahun tidak ada prestasi yang menggembirakan di sektor pertanian kita. Tidak ada keberpihakan anggaran, tidak ada upaya memastikan anggaran itu ‘tejaga’ membangun sektor pertanian dan memberdayakan petani. Memastikan bantuan negara selamat sentausa saja, pemda tidak bisa.
Dengan belajar pada ‘studi kasus’ petani jagung saja, kelihatan bobroknya. “Tak ada perlakuan daerah yang memposisikan petani tahanan politik dan sapi perahan, saat pikiran pemda matang garap agro-industri. Tentu didukung, tingginya kepekaaan dan rasa kemanusiaan memahami susah dan peliknya bertani.”
Bukankah, Agroindustri itu kegiatan yang saling berhubungan (interelasi) produksi, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, pendanaan, pemasaran dan distribusi produk pertanian.” Sebagaimana pendapat para ahli terkait, yang dikutip dalam Wikipedia yang menyebutkan, agroindustri itu bagian dari lima subsistem agribisnis yang disepakati, yakni; subsistem penyediaan sarana produksi dan peralatan. usaha tani, pengolahan hasil, pemasaran, sarana dan pembinaan. Agroindustri dengan demikian mencakup Industri Pengolahan Hasil Pertanian (IPHP), Industri Peralatan Dan Mesin Pertanian (IPMP) dan Industri Jasa Sektor Pertanian (IJSP)
***
Petani tidak lagi diminta menanam dan meningkatkan produksi saja. Sejak awal hingga panen daerah sudah menyediakan seluruh pikiran, infrastruktur, untuk menjaga petani. Tak ada lagi tengkulak-tengkulak nakal, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) digunakan untuk menyerap produk tani, industrialisasi mekar: petani terjaga, daerah sejahtera, Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat, Perda pemberdayaan dan perlindungan petani jadi payung hukum. Apa yang ada sekarang? perampokan, penjarahan, penelantaran, dalam bingkai kolonialisasi. Seluruh jenis kelamin petani disasar, mulai garam, jagung, dan bawang. Bahkan bila ada petani lintah, di tanah ini, diembat juga. Ironisnya, rezim sekarang bukan saja krisis otak, tubuh tuna, proyeksi agro-industri malah menumbuhkan ‘diskriminasi’ untuk tanah kelahiran kami.
Pemda Kabupaten Bima harus berani mengakui telah menelantarkan/meminggirkan dan mengesploitasi petani. Pengakuan itu mesti dilakukan dengan ‘berpihak’ pada petani. Berpihak sejak dalam pikiran. Keberpihakan yang melampaui watak Pemkab dan DPRD. Jalan lain yang radikal harus ditempuh, sebab lima tahun kedepan, petani harus punya ingatan lain yang membahagiakan memorinya. Seluruh sekat normatifitas, dan budaya feodal harus ditanggalkan. Petani Jagung, Bawang, dan Garam harus ditempatkan sebagai subjek pembangunan dan tujuan dan akhir proses-proses pembangunan.
Pemda bima terlarang berdalih. Mau berdalih malaikat atau iblis sekalipun. Sebut saja dalih gak ada uang sebagaimana disampaikan Bupati Bima dalam menanggapi pernyataan Sikap Laskar Tani Donggo Soromandi (LTDS) 10 Juni lalu. Mesti ada reorientasi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan mengganti struktur penyangga dalam BUMD. Perusahaan Daerah (PD) Wawo harus didesain oleh Pemda untuk berorientasi menyerap produk petani. Atau Pemda perlu merintis Perusahaan Daerah baru untuk menyerap produktifitas petani Jagung dan Bawang. Sebagaimana komitmen diatas materei 6000 oleh tiga anggota DPRD Dapil III yang juga anggota komisi II dalam menanggapi aksi jilid III LTDS, 8 Juli lalu.
Terlarang Pemda berdalih dan keberanian Pemda mengakui telah menindas, menelantarkan, dan membiarkan perampokan terhadap petani, lalu meminta maaf pada petani dengan terbuka itu jalan lain radikal yang harus ditempuh. Tentu dengan mengevaluasi seluruh kebijakan yang ‘kontra’ petani.
Satu saja pertimbangan filosofis yang prinsipil, bahwa masyarakat bima yang mayoritasnya petani itu perlu ‘ingatan lain’ yang membelah ‘memori’. Bahkan mendominasi bila kita sungkan mengutarakan secara jujur, membunuh ingatan tentang pemangkasan, penelantaran, perampokan, penjarahan dan sikap diskriminatif Pemda dalam memori petani. Jauh dari itu Pemkab Bima ‘ramah” perlu meninggalkan ‘Legacy Politik’ yang baik untuk petani.
Sekarang legacy politik itu ada di PD Wawo. Dan atau merintis Perushaan Daerah baru untuk menyerap produktifitas petani. Petani jagung dan bawang perlu terjaga. Tentu kepemimpinan intelektual dan kalangan profesional mesti dipersiapkan karpet merah. Disinilah keberpihakan pemda di uji, baik itu keberpihakan menghimpun duka petani, dan keberpihakan anggaran menggarap dapur daerah.
Kotak pandora harus dibuka, problem PD Wawo itu ada dimana. Diotak bupati ataukah diotak PD Wawo. Cara ini penting, untuk merintis BUMD baru, tanpa memakan dosa warisan ‘mangkraknya’ perusahan daerah yang bernama PD Wawo. Disini dibutuhkan keberanian, saya optimis Bupati dan 45 anggota DPRD itu bisa bercermin, atas seluruh problem yang melilit petani, demi memberdayakan, mencerdaskan, mensejahterakan petani. Dan tentu saja menghidupkan BUMD untuk PAD dan mengharumkan nama bima.
Donggo, 15 Juli 2020