Penulis: Alan Ananami (Kader Himpunan Mahasiswa Islam)
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, (Pembukaan UUD 1945 Alinea Ke Empat).
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3).
Bunyi pasal demi pasal dalam konstitusi negeri ini, menghidupkan pengharapan bangsa. Jangankan manusia, semesta pula bergembira mendengar dasar cita-cita republik yang sungguh mulia nan suci. Dalam sejarah, kata orang persatuan Indonesia semakin terintegrasi karena pernah memililki nasib ketertindasan dan penderitaan yang sama. Kasarnya, memori kolektif bangsa ini pernah ditelanjangi oleh bangsa lain.
Tapi, biarlah kekelaman itu dijadikan sebagai pelajaran yang berharga bagi kita semua, di Indonesia. Cukup nenek moyang negeri ini yang merasakan sakitnya hidup dalam cengkraman mental kolonial. Cukup para patriot terdahulu yang hidup dalam bayang-bayang kesengsaraan. Tidak untuk kita! Jangan untuk kita! Kita sudah merdeka dari bentuk penjajahan apapun, semestinya! Masa, sih? Iya. Yakin? Yakin! Sebentar, sebentar, aku mikir lagi.
Setelah lama merebut kemerdekaan, ternyata ada yang lebih asing dari pada bangsa eropa. Ada yang lebih membunuh secara perlahan, tidak dari luar, melainkan dari dalam, bak duri dalam daging. Batu yang membisu saja telah mengerti dengan baik, bahwa musuh terbesar Indonesia adalah anak-cucunya sendiri yang mereka itu diberikan amanat dan bekerja sesuai perintah Indonesia.
Dan sekarang ada peristiwa naas terjadi daerahku. Sulit untuk mengakuinya, tapi inilah kenyataan pahit yang mesti ditelan. Bahwa tidak semua generasi republik bisa bermimpi tinggi seperti yang lain karena tertekan oleh keadaan. Ingin rasanya merobek peristiwa yang menimpa saudara-saudaraku di Desa Karampi dan Desa Oi Katupa, Kabupaten Bima.
Faktanya, yang tak berprikemanusiaan adalah saudara semerah-putihnya, sama bahasanya dan sama darahnya. Memang manusia, terkadang seringkali membunuh satu sama lain tanpa alasan yang pasti. Siapa yang berkuasa itulah yang memegang kedigdayaan. Kemerdekaan, reformasi, Pancasila, Konstitusi, dan bla, bla, bla hanya sebuah kata-kata yang sunyi tak terasa kehadirannya.
Di desa Karampi, Kecamatan Langgudu, ada sekolah yang luput dari sorotan mata, yaitu SDN INPRES KARAMPI FILIAL SOROPETO. Sekolah ini, berdinding kayu, beratap jerami dan beralaskan tanah. Sejak berdirinya tahun 2012, rumah pendidikan ini miskin mendapat sentuhan dari pemerintah setempat. Nurani menggeleng melihatnya. Karena yang kita kira, semua sudah merdeka sepenuhnya. Karena yang kita tahu, misi pencerdasan kehidupan bangsa harus disyiarkan secara merata dan seadil-adlinya.
Siapa bilang, bukannya Pemerintah Daerah Kabupaten Bima itu slogannya RAMAH (Religius, Aman, Makmur, Amanah Dan Handal)? Super, super, super dengan visinya ya! Ajaib dan banyak yang takjub. Harusnya aneh bin ajaib, betul? Aneh? Apa pentingnya slogan bagi guru dan anak-anak di SDN INPRES KARAMPI? Makan tuh janji mereka! Tahukan kalau binatang sampai sekarang masih diikat atau terikat oleh talinya, lah manusia sudah tak terikat lagi dengan ucapannya! Omongannya tak bisa dipegang. Itu pemimpin loh! Minggir, minggir itu sampah!
Wajib belajar, wajib sekolah, berbeda dengan wajib bersabar dan wajib bersyukur. Dengan kesabaran dan kesyukuran di tanah merdeka ini, tenaga pelajar dan peserta didik di SDN INPRES KARAMPI, tetap semangat menimba ilmu meski dalam keterbatasan fasilitas. Semua untuk apa? Semua untuk NKRI. Untuk menjaga nafas kaderisasi bangsa. Semoga satu di antara mereka kelak menjadi pemimpin negeri ini. Menjadi pemimpin yang rela mennyampingkan kepentingan pribadi dan keluarga demi “dou labo dana” (masyarakat dan negeri).
Mariku ajak di sisi lain. Coba merobek realitas di tanah “Maja Labo Dahu (Malu Dan Takut)” di bagian utara, tepatnya di Desa Oi Katupa, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima. Masyarakat Desa Oi Katupa sedang melawan kejahatan koorporasi. Lahan mata pencaharian mereka sebagai kaum tani telah tergusur oleh arogansi PT. Sanggar Agro Karya Persada. Beberapa kali masyarakat melakukan aksi protes terhadap pemerintah dan perusahaan. Namun sayang di sayang, suara mereka bak angin lalu. Ibarat cacing yang sedang bertarung dengan naga.
Pasal 33 Ayat 3 tidak berlaku di Bimaku. Dikuasai oleh pemerintah dan dibagi-bagi ke oligarki untuk kepentingan segelintir orang. Rakyat makmur? Rakyat sejahtera? Itulah harapan masyarakat desa Oi Katupa di Tambora. Tetapi, harapan berubah menjadi kecemasan. Saat ini, kehidupan masyarakat Oi Katupa dihantui oleh intervensi. Lawan mereka ialah suatu kekuatan besar yang bernama PT. Sanggar Agro Karya Persada yang telah menghancurkan mimpi mereka untuk hidup bahagia dan tentram.
Otak kekuasaan sama dengan otak kapitalis. Urgensinya adalah investasi lancar walau mengabaikan aspek kemanusiaan, antropologis, dan sosilogis masyarakat desa Oi Katupa. Suatu kelumrahan apabila muncul berbagai spekulasi dan kecurigaan tentang persengkongkolan busuk antara pemerintah dan oligarki. Ketika memang kepentingan masyrakat lokal tersisihkan dari dasar kebijakan yang diambil. Pemerintah sepertinya senang bermain mata dengan koorporasi. Enak ya, asyik ya, happy ya, di lirik oleh perusahaan tanah kita. Hidup investasi! Mati kemanusiaan!
Ketika pemerintah belum mampu otonom dan sangat bergantung secara finansial pada pelaku pasar, terjadilah apa yang dijelaskan oleh Joel S. Hellman, tentang State-capture. Premis utama State-capture adalah penyanraan aparat oleh pengusaha. Sementara itu, pelaku pasar ingin melipatgandakan modal melalui izin, supervisi, dan fasilitas lain yang diberikan oleh negara. Hal seperti ini membentuk hubungan patron-klien, sehingga oligarki bisnis-politik mekar dan menjarah aset kekayaan alam bangsa ini (Hasiman, 2019:118).
Jalan keluarnya adalah Bupati Bima, Gubernur Ntb, dan Presiden wajib turun tangan mengakhiri prahara ini. Masyarakat Oi Katupa mesti dilibatkan dalam setiap keputusan yang menyangkut masa depan hidup mereka. Artinya, penguasa dan pengusaha haram hukumnya jika mengambil sebuah tindakan secara sepihak. Investasi bisa diterima jika itu menguntungkan rakyat. Tapi, bila sebaliknya, investasi malah mendatangkan bencana bagi rakyat, sungguh itu suatu pengkhianatan besar terhadap amanat Pancasila dan UUD-1945.
Daoku untuk penguasa atau pemimpin tanah kelahiranku, mudah-mudah segera bisa keluar dari lingkaran moral hazard ketika mengambil keputusan. Moral hazard adalah sebuah sikap seorang pemimpin yang tidak pro rakyat dalam mengeluarkan kebijakan suatu perkara. Ini bisa berpotensi besar penguasa akan bertindak “abuse of power”
(penyalahgunaan jabatan). Pada akhirnya, semua nilai historis, budaya dan falsafah hidup, kita anggap hanya sebuah delusi.