Foto: Lokasi tanah milik Supardi.
Sumbawa Barat. Radio Arki – Nampaknya, persoalan yang mendera Supardi, warga Kelurahan Telaga Bertong yang juga pemilik tanah yang dijadikan jalan menuju Mako Brimob KSB tak kunjung usai. Setelah sebelumnya Supardi melakukan aksi prores lantaran tanahnya tak kunjung dibayarkan oleh Pemda KSB, kini setelah semuanya berproses, malah muncul masalah baru.
Masalah baru itu menyeruak, lantaran Pemda KSB hanya akan membayar tanah yang telah 3 tahun dijadikan jalan itu sebanyak 31 are lebih, dari 45 are luas lahan berdasarkan Sertifikat yang diterbitkan BPN KSB tanggal 20 November 2017 lalu. Anehnya, sisa lahan yang seluas 13 are lebih itu, masih belum jelas kemana rimbanya.
“Saya baru menyetujui harga per arenya yang ditawarkan Pemda KSB. Namun, dlaam prosesnya, malah muncul perkara baru. Dimana tanah saya berdasarkan sertifikat yakni seluas 45 are, tapi dari hasil pengukuran Pemda yang bisa dibayar hanya 31 are lebih. Sisanya yang 13 are lebih masih belum jelas kemana,” tutur Supardi.
Supardi mengaku, dirinya sempat mengutarakan keinginannya kepada Pemda KSB, untuk melakukan pemagaran di sisa tanah 13 are lebih yang tidak dibayarkan oleh Pemda KSB. Namun, dirinya tidak diperbolehkan melakukan hal tersebut, dengan alasan bahwa sisa lahan yang belum dibayar oleh Pemda hanya 31 are, bukan 45 are.
Mendengar penjelasan tersebut, Supardi merasa dipermainkan oleh Pemerintah. Pasalnya, pada tahun 2017 lalu saat pembebasan lahan, Pemda mengukur tanah miliknya dengan hasil luas keseluruhan 37 are. Namun, saat itu dirinya tidak menerima, dengan pertimbangan aspek harga. Selanjutnya, setelah ada gejolak penutupan akses jalan ke Mako Brimob, kran komunikasi untuk pembayaran tanah kembali dibuka dan Pemda melakukan pengukuran ulang.
“Tahun 2017 mereka mengukur lahan. Hasilnya, ada 37 are tanah milik saya yang akan dibebaskan. Tiba tiba tahun 2021 kembai diukur, tanah saya berkurang lagi menjadi 31 are lebih. Padahal di sertifikat tanah itu seluas 45 are. Saya bingung, lantas sisanya kemana,” tanya Supardi.
Mengetahui adanya perkara baru yang belum memiliki jawaban, Supardi akhirnya difasilitasi bertemu pihak BPN KSB dan Kabag Pemerintahan Setda KSB. Namun saat itu, disepakati akan dilakukan peninjauan lapangan secara bersama sama untuk dicarikan solusi terbaik. Apakah errornya ada pada pengukuran pemerintah, atau justru sertifikatnya yang perlu dirubah.
“Nanti kita akan lihat bersama dilapangan. Yang jelas, jika margin errornya satu atau dua are mungkin saya bisa ikhlaskan, tapi jika belasan are seperti ini, maka kita tentu akan bicara aspek keadilan yang perlu ditegakkan,” tegas Supardi.
Sementara itu, dikonfirmasi terpisah Via telpon, Kabag Pemerintahan Setda KSB, Suryaman, S.STP menjelaskan bahwa, tidak ada perbedaan pengukuran Pemda dengan luas dalam sertifikat. Dimana hasil pengukuran pemda tetap 45 are, sesuai patok yang sudah ditentukan. Namun setelah dikroscek, ternyata terindikasikan sebagian tanah yang diklaim supardi, masuk dalam sebagian lahan yang sudah dibebaskan tahun 2017 lalu atas nama orang lain.
“Terindindikasi masuk pembebasan tahun 2017 lalu. Hal itu lantaran Supardi membuat sertifikat, setelah kami melakukan pembebasan lahan. Oleh karena itu, kami sudah minta kepada BPN untuk turun lapangan, melakukan pengukuran ulang tanah tersebut,” ungkap Suryaman.
Ia juga mengklaim, pada pembebasan lahan 2017 lalu, pihaknya juga tetap melibatkan pemilik tanah. Termasuk juga dihadiri Pak Supardi untuk melihat dan mengecek batas tanah yang akan dibebaskan. Jadi setelah dipastikan, barulah Pemda berani melakukan pembayaran.
“Nah, kalau dilihat berdasarkan sertifikat, ada batas sungai tergambar lurus. Padahal di lapangan sungai itu bengkok. Kondisi demikian pula diakui oleh Supardi. Atas dasar itu juga, penting dilakukan pengukuran ulang dari BPN KSB,” jelasnya.
Disinggung apakah ada kemungkinan dilakukan pembayaran sisa lahan yang 13 are lebih, jika lahan itu dinyatakan ada oleh BPN KSB. Suryaman menegaskan, pemerintah tidak boleh melakukan pembayaran tanah dua kali, karena ada konsekuensi hukumnya.
“Yang jelas, Pemda tidak boleh membayar tanah dua kali, karena ada konsekwensi hukumnya. Jadi kami hanya bisa meminta brita acaranya, sebagai dasar memasukkan penilaian,” tukas pria, yang pernah menjadi Camat Taliwang itu.
Kepala BPN KSB yang dikonfirmasi melalui Kasi survey dan pemetaan, Made Bagus, ST mengakui pihaknya telah menerima pengaduan, terkait adanya permasalahan tanah yang kini telah dijadikan jalan dan sebagian lapangan tembak Brimob KSB itu. Atas dasar pegaduan tersebut, pihaknya akan melakukan kroscek lapangan, karena tahun pembebasan lahan oleh pemerintah dan pembuatan sertifikat oleh pak Supardi sama sama di tahun 2017.
“Kita belum tau yang ukur duluan yang mana, karena Pemda juga belum memiliki sertifikat dan masih mengukur untuk pembebasan lahan saat itu. Memang kalau dilihat hasil pengukuran Pemda dan sertifikat di lapangan diakui memang tidak sesuai,” tutur Bagus.
Ditanya terkait mekanisme pengukuran dan kemungkinan adanya error data, secara singkat Bagus menjelaskan jika pengukuran untuk pembuatan sertifikat, dibuat berdasarkan patok yang ditunjuk oleh masyarakat. Masyarakat yang dimaksud disini bukan hanya pemilik lahan yang akan disertifikat, tapi warga samping kiri kanannya juga dilibatkan.
“Jadi peluang salahnya ukuran dalam sertifikat itu, jika masyarakat salah menunjukkan patok batas batas tanah. Kalau soal alat yang kami gunakan, peluang salahnya sangat kecil sekali. Meski begitu, jika dalam pengukuran nanti memang sertifikatnya ada perbedaan dilapangan, maka sertifikatnya bisa kita ubah kembali,” tandasnya. (Enk. Radio Arki)