Malikurahman : Perda Tentang Pilkades Tidak Sesuai UU KUHP
Sumbawa Barat.Arki Radio – belum lama lagi Sumbawa Barat akan menggelar pemilihan kepala desa serempak di 16 desa yag telah ditetapkan sebagai desa untuk tahapan pertama. Sayangnya, dalam regulasi yang telah ditetapkan pemerintah daerah tentang pemilihan kepala desa tidak mengatur tentang penanganan pelanggaran, khususnya tentang sanksi “money politik” atau politik uang.
Demikian diungkapkan, Malikurrahman, Pengacara Muda Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi),di Sumbawa Barat, ahad 1/10 siang tadi, kepada www.arkifm.com.
“coba dicek, bagaimana mekanisme penangan pelanggarannya. Termasuk money politik. Itu berarti sangat bebas bagi peserta Pilkades atau Tim pemenangannya melakukan kampanye yang berbau money politik,” tegasnya
Dalam pasal 53 larangan Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Desa di Sumbawa Barat, jelasnya, money politik masuk dalam kategori larangan. Tetapi anehnya, pelanggaran itu disamakan dengan pelanggaran lainnya, yaitu dikategorikan dalam pelanggaran administrasi biasa, dimana hanya akan ditegur dan dihentikan apabila masih tetap dilakukan tindakan seperti itu.
Menurut Iken, demikian ia akrab disapa, hal tersebut justru berseberangan dengan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHP pasal 149, yang menyebutkan “Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau piadan denda paling lama empat ribu lima ratus rupiah.”
Bahkan pada ayat berikutnya juga memberikan sanksi yang sama terhadap pemilih yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap tersebut.
Ketidakjelasan ruang dalam pelanggaran pidana ataupun adminstrasi dalam Perda yang telah disusun pemerintah daerah justru akan berdampak fatal terhadap pelaksanaan Pilakdes kedepan. Hal itu bahkan bisa menjadi sumber konflik, khususnya tentang potensi Pidana Pemilihan seperti money politik. Menurut Iken, semestinya pemerintah daerah bisa melakukan koordinasi dengan penegak hokum secara massif.
“saya lihat pemerintah daerah tidak belajar dengan kabupaten tetangga. Dimana terjadi money politik di salah satu desa. Dan bagaimana proses penanganannya sekarang?”timpalnya
Dalam proses penangan yang saat ini ditangani di kabupaten tersebut, memunculkan dilemma bagi pemerintah daerah setempat tentang penentuan waktu untuk dilakukan pelantikan. Dan hal itu pastinya berdampak terhadap pelayanan public di desa yang justru terhambat. Belum lagi, dampak sosial yaitu konflik komunal atas lemahnya regulasi tersebut.
“pasti beda antara kades defenitif (tetap) dengan kades yang hanya berstatus Pelaksana tugas (Plt). Belum lagi efektifitas jadwal yang telah ditentukan. Jadi pemerintah daerah Sumbawa Barat harus menyiapkan langkah yang tepat tentang bagaimana mengisi ruang kosong dalam Perda tersebut. saya mencatat ada banyak sekali kelemahan Peraturan tersebut, dan sangat fatal, bahkan sangat besar potensi konflik terhadap kekosongan ruang tersebut” tutup iken. (US-ArkiRadio)