Sumbawa Barat.Arki Radio – Proses mutasi dan pelantikan kepala sekolah belum lama ini telah digelar Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat, sedikitnya pemerintah telah melantik dan memutasi 82 orang kepala sekolah dan pengawas. Kebijakan tersebut ternyata mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Termasuk salah satunya, aktifis social Sumbawa Barat, Gerakan Pembaharuan Rakyat (Gempur).
Dalam keterangan resminya, Koordinator GEMPUR, Jayadi, kepada www.arkifm.com, menilai bahwa proses tersebut sangat syarat politik dan sangat terkesan sebagai ajang balas dendam dalam Pilkada.
“sangat sulit untuk mengatakan bahwa tidak ada kepentigan politik didalamnya. Kalau melihat aspek regulasi dan kepatutan,” ujar Jaya melalui rilisnya, kepada www.arkifm.com, senin 3/10 malam tadi.
Menurut Jaya, proses mutasi memang menjadi kewenangan pemerintah daerah, khususnya pimpinan daerah. Tetapi sejatinya proses itu harus melihat banyak hal, seperti aspek regulasi dan aspek kepatutan sehingga tidak memunculkan anggapan public yang negative. Apalagi mengaitkan kebijakan mutasi tersebut sebagai kebijakan balas dendam.
Tidak ada larangan pimpinan daerah memutasi jajarannya, kata jaya, termasuk guru dan kepala sekolah. Tetapi sebagai pemimpin yang berkewajiban untuk menciptakan suasana aman, nyaman dan pengayom bagi warganya, maka sudah pasti proses itu harus dilalui dengan mekanisme yang matang. Artinya bukan hanya memperhatikan aspek regulasi, tetapi aspek sosio kultural dan aspek kepatutan menjadi aspek yang harus dijadikan sebagai pertimbangan.
“coba dilihat, ada yang diturunkan jabatannya dari guru. Dan ada yang dipindahkan dari tempat domisilinya cenderung jauh, seperti dari Kecamatan Jereweh ke sekongkang” bebernya.
Dalam regulasi, lanjutnya, kebijakan itu bisa saja dibenarkan. Tetapi tetap saja masih terbuka ruang untuk diperdebatkan. Karena dalam regulasi tentang pengangkatan dan pemberhentian jabatan kepala sekolah, ada banyak factor yang harus diperhatikan, terutama tentang penilain kinerja kepala sekolah.
“saya tidak meyakini bahwa mereka yang diturunkan menjadi guru biasa mempunyai track record (pengalaman) buruk selama memimpin sekolah. Kami sangat mengerti bahwa kepala sekolah adalah tugas tambahan guru, tetapi ada banyak juga pertimbangan lain, terutama kepatutan” ketusnya.
Sebelumnya, kepala BK-Diklat Sumbawa Barat, Malik Nurdin, S.Sos. M.Si., menegaskan, proses mutasi terhadap guru dan kepala sekolah, termasuk juga pengawas, tidak pernah ada unsur politik. Apalagi dianggap sebagai dendam politik. Semuanya sudah memperhatikan banyak hal, terutama aspek regulasi.
“sudah jelas regulasinya. Salah satu factor pemberhentian jabatan kepala sekolah adalah karena masa tugas yang sudah berakhir. Dan hal demikian adalah hal lumrah dilakukan” tegasnya
Menurut ketentuan yang ada, lanjut Nurdin, jabatan kepala sekolah itu memiliki periodesasi 2 tahun, dan paling telat bisa menjabat selama dua periodesasi atau empat tahun. Jabatan itu bisa saja diperpanjang kembali apabila memang yang bersangkutan mempunyai prestasi luar biasa.
“intinya gak ada yang politis. Semuanya sangat jelas dan matang” tandasnya. (US-ArkiRadio)