ARKIFM ARTIKEL

Mengurai Benang Kusut Sengketa Tanah Batu Nampar Talonang

Batu Nampar Bukan Tanah Negara?

(Oleh Dianto, SH., MH : Dekan FH IISBUD)

Sengketa Batu nampar, Talonang Kabupaten Sumbawa Barat belum kunjung usai. Meski jalur litigasi sudah ditempuh oleh masyarakat adat Talonang. Saling klaim antara masyarakat adat dan Negara dalam hal ini pemerintah Daerah Sumbawa Barat masih tak berujung. Karena antara negara dan masyarakat adat ini, punya argumentasi sendiri dalam mengklaim tanah tersebut.

Dalam pandangan pemerintah, tanah batu nampar adalah tanah negara dengan dalil SK kepala BPN nomor: 88/HPL/BPN/2002 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan atas nama Departemen Transmigrasi Jo. SK Gubernur nomor : 404 Tahun 1972 tentang pencadangan tanah seluas 4.050 ha untuk keperluan lokasi proyek transmigrasi. Namun disisi lain, menurut masyarakat adat talonang batu nampar adalah tanah ulayat dengan dalil bhwa tanah tersebut sudah dipetakan oleh pemerintah saat itu tahun 2000 yang disaksikan oleh KPH Jereweh, kepala desa sekongkang bawah.

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan pada tahun 2013, tentang kewenangan kepala daerah menerbit izin di wilayah hutan adat dimana studi kasus yang diambil adalah di Talonang sumbawa Barat (baca; jurnal Ius Justitia Pascasarjana Magister ilmu hukum Fakultas Hukum UNRAM), ada kesimpulan yang menarik bahwa masyarakat Talonang secara faktual dengan indikator yang dipersyaratkan undang-undang bahwa masyarakat Talonang adalah sah dapat dinyatakan sebagai masyarakat adat. Jadi sangat naif kalau sampai saat ini belum diakui oleh negara, baik itu melalui perda atau SK kepala Daerah.

Hal tersebut semoga bukan menjadi bagian dari upaya untuk mengesampingkan fakta, dimana masyarakat ada Talonang memilki hak tanah adat, berdasarkan pemetaan yang telah dilakukan oleh camat saat itu, yang disaksikan oleh KPH Jereweh, Kades Sekongkang Bawah, dengan penamaan dalam peta adalah tanah Ulayat Padukuhan Adat Talonang yang diterbitkan tahun 2000. Karena selain pengakuan sebagai masyarakat adat yang tak kunjung diberikan, dalam penguasaan tanah batu nampar oleh pemerintah, di samping itu juga kalopun masyarakat adat talonang tidak membayar pajak dalam beberapa tahun terakhir, lantas hak milik atas tanah tersebut dianggap hilangnya hak milik?. Tidak taat pajaknya masyarakat bukan berarti menghilangkan hak milik, namun semestinya diberlakukan adalah peraturan terkait perpajakan misalnya kaitan dgn denda.

Fakta-fakta ini memang sejatinya perlu diuji tanpa harus menempuh jalur hukum, atau minimal dilakukan musyawarah bersama para pihak, seperti BPN, Pemerintah Daerah, pihak Transmigransi dan Masyarakat adat itu sendiri, agar tidak ada klaim yang berkepanjangan. Karena saling klaim ini adalah bukti kebuntuan komunikasi, dan dapat dikatakan sebagai kegagalan untuk memfasilitasi yang sebenarnya menjadi tugas pemerintah.

Berbicara tentang pengakuan yuridis masyarakat adat oleh pemerintah di beberapa daerah memang sangat terkesan politis. Karena ada kepentingan besar dalam setiap objek tanah masyarakat adat, baik itu kepentingan proyek pembangunan ataupun ada juga kepentingan kapitalisasi oleh privat yang seolah difasilitasi negara. Padahal yang lebih penting dari sekedar menunjukkan kekuatan negara dalam berhadapan dengan rakyat kecil adalah kehadiran negara untuk berdiri bersama rakyat, bukan justru membuat upaya yang terkesan sangat rapih untuk ‘menghabisi’ hak rakyat.

Starting (awal) dari musyawarah itu tentunya diperlukan pengecekan langsung. Karena dalam pemetaan yang penulis temukan justru lokasi pencadangan tanah untuk transmigrasi berdasarkan SK kepala BPN nomor; 88/HPL/BPN/2002 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan atas nama Departemen Transmigrasi junto SK Gubernur nomor : 404 Tahun 1972 tentang pencadangan tanah seluas 4.050 ha untuk keperluan lokasi proyek transmigrasi yang lokasinya bukan di batu nampar tidak termasuk Batu Nampar, melainkanTalonang, Liang Cie, dan Tongo.

Langkah seperti itu tentu akan lebih tepat, dan sekaligus sebagai bentuk keberpihak negara kepada rakyat, bukan sebaliknya. Apalagi sampai harus menempuh jalur dengan melibatkan aparat penegak hukum. Maka sama dengan membenturkan rakyat dengan alat negara. Dan kalaupun proses ini sudah dilakukan, idealnya pihak kepolisian mengedepan semangat persuasif dan keterbukaan. Artinya kepolisian bisa membuka, bagaimana setiap proses pengecekan langsung di lapangan itu dilakukan dan termasuk hasilnya. Penulis pikir hal seperti itu akan lebih bermartabat dan mengayomi.

Related posts

DISPARPORA KSB Mengucapkan Selamat Hari Anti Korupsi Sedunia

ArkiFM Friendly Radio

Gubernur Dorong Sekolah di NTB Terus Hadirkan Inovasi

ArkiFM Friendly Radio

LPPM UNSA Bina Warga Olah Sampah Jadi Pupuk dan Cinderamata

ArkiFM Friendly Radio

Leave a Comment