ARTIKEL

Peran Pemuda Di Era Milenial : Antara Tantangan dan Harapan

Perbedaan utama antara generasi millennial dan generasi sebelumnya, terutama dalam nilai-nilai inti dan sikap dalam pekerjaan serta kehidupan. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, nilai-nilai generasi millennial menitikberatkan kepada jaminan, kesederhanaan, efisiensi, dan kemanusiaan. Mereka juga ingin mengintegrasikan waktu kerja dan waktu luang mereka.

Kata pemuda seringkali di-identik-kan dengan sekelompok anak muda yang masih “bau kencur” alias belum berpengalaman, belum matang dalam berfikir, dan masih belum stabil secara emosi. Dan karenanya, secara umum orang tidak terlalu memperhitungkan kelompok pemuda ini karena dianggap pola berpikirnya cenderung idealis. Tidak realistis, dan sering mengambil keputusan berdasarkan emosi dan perasaan belaka.

Peran pemuda di era millennial dapat dikatagorikan ke dalam 3 peran penting. Yaitu pertama sebagai agent of change . Secara sosial politik, digitalisasi telah membuka lebar keran pertukaran informasi, transparansi data, serta memudahkan akses mobilisasi politik. Sebagai lini utama pengguna teknologi, kaum millennials berperan penting dalam menjaga iklim demokrasi. Meminjam istilah dari teoris perubahan sosial Everett M. Rogers, pemuda millennials seharusnya menjadi opinion leaders dalam mengaktivasi budaya bijak berteknologi, misalnya bersosial media. Sebuah contoh aktualisasi kaum millennials yang patut diapresiasi adalah aplikasi anti hoax buatan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB). Kelompok yang menamai timnya sebagai Tim Cimol menciptakan sebuah aplikasi bernama Hoax Analyzer. Aplikasi untuk mendeteksi ada atau tidaknya konten kebohongan dalam sebuah informasi ini, membawa mereka menjadi wakil Indonesia di ajang Mocrosoft Imagine Cup 2017 tingkat Asia Tenggara. Selain prestasi nyata, sebagai pemuda mereka telah melakukan langkah konkret untuk memerangi ironi yang tengah berkembang di dalam negeri hoax.

Penertasi penggunaan media digital yang terus meningkat di tanah air membuat kampanye perubahan sosial melalui konsep edukasi dan hiburan (edutainment) menjadi sebuah metode yang efektif. Proses penanaman nilai melalui kanal digital seperti youtube, facebook, Instagram, dan sebagainya, harus dimanfaatkan oleh para blogger, vlogger, serta netizen yang didominasi kaum millennials untuk mengambil peran dalam gerakan perubahan. Salah satu contoh pemanfaatan teknologi oleh kaum millennials, dilakukan oleh sekelompok anak muda Indonesia yang membuat gerakan anti bullying secara online bernama “Sudah Dong”. Selain mengkampanyekan anti bullying, gerakan ini juga berjuang untuk mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan anti bullying.

Peran pemuda di era millennials yang kedua, sebagai innovator. Dari kacamata ekonomi politik, digitalisasi juga sangat mempengaruhi proses komodifikasi dan spasialisasi melalui teknologi. Komodifikasi adalah sebuah proses mengubah sesuatu menjadi bernilai ekonomis. Sementara spasialisasi adalah proses efisiensi dalam mendistribusiakan produk dengan cara memangkas jarak dan waktu. Berbagai macam karya anak muda Indonesia, seperti aplikasi transportasi online (Gojek dan Grab), atau aplikasi belanja online seperti Bukalapak, Tokopedia, dan sebagainya merupakan contoh dari komodifikasi dan spasialisasi yang memberikan kontribusi dalam memudahkan mobilisasi masyarakat Indonesia. Bahkan, inovasi kaum millennials mampu membuka ribuan lapangan pekerjaan dan berkontribusi dalam perekonomian negara.

Ketiga, sebagai promoter bangsa. Tidak melulu berkontribusi diartikan dalam konteks makro seperti tiga contoh sebelumnya. Peran nyata kaum millennials juga bisa diaplikasikan dalam konteks mikro. Misalnya membawa kemajuan di bidang pariwisata dan kebudayaan melalui media sosial. Sifat dinamis dan kreatif yang ada dalam diri anak muda, secara tidak langsung menjadi corong bangsa untuk mempromosikan potensi yang ada di dalamnya. Adalah peran pemuda unuk mengkonversi kecintaannya dalam berpetualang, jalan-jalan, dan kreatif bermedia sosial, menjadi sebuah upaya untuk menggaungkan budaya dan pariwisata tanah air ke mata dunia internasional.
Terdapat beberapa tantangan pemuda di era millennials ini.

Lapangan pekerjaan semakin sempit

Per Agustus 2017, jumlah pengangguran di Indonesia meningkat hingga 7 juta orang. Jika dibandingkan dengan setahun sebelumnya, kenaikan ini adalah sebesar 10.000 orang.

Harga sembako yang menjulang

Kenaikan sembilan bahan pokok alias sembako, rasa-rasanya memang seperti kenaikan berat badan: yang entah kapan turunnya. Hingga Januari 2018, di beberapa daerah, kenaikan ini masih terasa.

Kemiskinan

Statistik kemiskinan di Indonesia memang menunjukkan penurunan. Namun penurunan ini dikhawatirkan kelak terjadi lebih lambat di masa yang akan datang. Maka tidak heran kalau generasi millennials menjadi harap-harap cemas soal masa depan mereka.

Sikap politik

Berdasarkan hasil survei dari Alvara Research Center tahun 2014, dalam gambaran sebuah pemilihan umum, generasi millnials di Indonesia cenderung menjadi pemilih yang bersifat swing (berubah-ubah), dan apathetic (apatis, tidak peduli). Jangankan dari survei, di linimasa media sosial juga bisa kok menemukan mereka-mereka yang dukungannya berpindah-pindah dan malah jadi debat sendiri.

Kesenjangan kepercayaan diri

Generasi millennials hadir di tengah pendidikan yang memadai yang menempa mereka menjadi manusia yang kreatif. Tak jarang, kelebihan ini membuat mereka menuntut diperlakukan istimewa. Di sisi lain ada juga generasi millennials yang bawaannya minder melulu, akibatnya, tingkat stress dan defresi meningkat pesat. Kalau tidak ditangani dengan baik, fenomena ini bisa mengarah pada hal-hal yang tidak diinginkan.

Tidak suka pada kebiasaan lama

Kalau ditelaah, ojek online menjadi salah satu kontemplasi dari tantangan ini. Yah, kenapa harus repot-repot cari ojek kalau bisa pencet tombol order di smartphone sambil santai di rumah? Tapi mohon maaf, kadang-kadang memang ada suatu kebiasaan yang sudah jadi tradisi dan tidak bisa seenak udel untuk diubah-ubah.

Konflik agama

Di zaman yang kian terbuka, mau ngak mau, generasi millennials cenderung punya peluang menghadapi banyak konflik, termasuk konflik-konflik agama. Tidak melulu soal pertikaian antaragama, masalah-masalah yang muncul di dalam suatu agama itu sendiri pun patut menjadi perhatian. Misalnya: dilema cadar yang lagi heboh di kalangan mahasiswa di salah satu uiversitas di Jogjakarta, dan kasus-kasus penyerangan tokoh agama.

Melawan HOAKS

Majunya teknologi di tengah-tengah kehidupan millennials memang mempermudah penggunanya untuk menekan tombol share. Sayangnya tidak semua berita yang tersebar sekarang ini akurat. Jadi, bukan cuma filter di Instagram saja, kita pun harus punya filter khusus menangkal hoaks.

Lebih cepat botak

Bukan tanpa alasan, hal ini bisa terjadi akibat pola makan dan gaya hidup, serta hal yang telah saya sebutkan sebelumnya: tingkat stres berlebihan, apalagi dengan tantangan-tantangan di atas. Lagi pula, generasi millennials di Indonesia pun banyak yang mengaku mulai stres, baik karena minder maupun kesepian. Uniknya, kesepiannya pun kesepian ala millennials, yaitu akibat semakin menurunnya jumlah like di Instagram.

Berbicara tentang tantangan di era millennials, tantangan yang dahulu bersifat kolonoalisme, kini telah berevolusi menjadi kompetisi global. Musuh pemuda yang harus diperangi bukan lagi penjajah bersenjata, melainkan ketidakmampuan dalam menyaingi cepatnya perkembangan zaman.

Di era dengan segala kecanggihan teknologi, tingkat persaingan juga semakin tinggi. Kualitas dan kinerja manusia juga dituntut menjadi semakin tinggi. Generasi masa kini harus mampu beradaptasi dengan cepat, belajar dan menjadi lebih baik dengan cepat serta melakukan navigasi yang lincah dan tepat untuk dapat memecahkan setiap masalah. Era millennials ini menuntut kita untuk kreatif, karena kalau tidak, dalam beberapa tahun ke depan mungkin posisi kita sudah digantikan oleh robot atau program komputer.
Dari berbagai tantangan dan problematika di atas, tentunya ada harapan yang ingin kita sematkan para generasi millennials ini. Yaitu menjadi generasi millennial yang kreatif, aktif, dan inovatif. Untuk menjadi itu semua bisa ditempuh dengan cara: pertama, perbanyak membaca buku. Membaca buku secara rutin dianjurkan bagi generasi millennials saat ini, apalagi minat baca anak muda di Indonesia masih sangat rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Most Littered National in the World 2016, dari total 61 negara di Asia, minat baca di Indonesia berada di tingkat 60. Hal ini tentu menjadi keprihatinan bersama, padahal dengan membaca buku setiap hari, wawasan yang diperoleh menjadi luas dan hal tersebut akan merangsang kemampuan untuk berpikir secara kreatif. Apabila sulit untuk memulai kebiasaan membaca buku, kita bisa memilih buku-buku yang sederhana terlebih dahulu untuk lebih membiasakan diri.

Kedua, penggunaan internet dan media sosial secara bijak. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi dan internet bisa membawa dampak positif maupun negatif bagi anak muda. Apabila tidak hati-hati dalam penggunaannya, kita sebagai anak muda dapat terjerumus ke hal-hal yang negatif, seperti mengunjungi situs-situs pornografi, membuka situs-situs radikalisme, atau salah dalam memilih teman dan komunitas di internet. Selain itu, generasi millennials juga harus bijak dalam menggunakan media sosialnya. Jangan sampai media sosial justru menjadi sarana untuk saling menghujat dan menjatuhkan satu sama lain atau untuk menyebarkan informasi hoax. Maka dari itu, kita sebagai generasi muda harus mengambil dampak positifnya saja. Kita bisa menggunakan internet untuk mencari ide-ide kreatif di Google, mencoba menulis artikel di Kompasiana, melihat tutorial kreatif di Youtube, membuat foto-foto menarik untuk ditampilkan di Instagram atau Facebook, membagikan informasi-informasi yang bermanfaat di Twitter dan masih banyak lagi. Pada dasarnya, dampak positif dari kemajuan teknologi akan kita rasakan jika kita juga menggunakannya secara positif.
Ketiga, bersikaf terbuka terhadap berbagai pengalaman baru. Di dunia yang semakin dinamis dan modern seperti saat ini, kita sebagai anak muda perlu membiasakan diri untuk terbuka dengan berbagai pengalaman baru. Kita bisa mengikuti berbagai macam aktivitas yang bermanfaat, seperti bergabung dengan organisasi sosial, menjadi relawan bagi orang-orang miskin, atau mengikuti berbagai ajang-ajang perlombaan. Aktivitas-aktivitas tersebut akan melatih diri kita untuk dapat berpikir lebih kreatif dan bergerak lebih aktif. Selain itu, kita dapat membiasakan diri untuk lebih tanggap dan kritis dengan masalah-masalah yang terjadi di sekililing kita.

Terakhir, membangun ide dan visi ke depan. Hal berikutnya yang dapat dilakukan oleh anak muda adalah mencoba mengembangkan ide-ide kreatif yang ada di benaknya. Kita bisa memulai dengan ide-ide yang sederhana terlebih dahulu. Siapa tahu dari ide sederhana tersebut, kita justru dapat membentuk sebuah start up baru yang dapat memecahkan masalah-masalah yang ada di sekitar kita dan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Selain mencoba mengembangkan ide-ide yang ada di pikiran kita, generasi millennials juga harus memiliki visi dalam hidupnya. Visi ini harus jelas dan realistis. Jangan sampai kita sebagai penerus bangsa tidak memiliki visi dan cita-cita yang membuat kita hidup tanpa target dan tujuan.

Penulis : Nurhidayati Arifah, S.Pd (Pegiat Literasi Sumbawa Barat)

Related posts

Jangan Ada Gayus di Antara Kita

ArkiFM Friendly Radio

Menolak Provokasi Dengan Provokasi, Siapa Provokator Sebenarnya?

ArkiFM Friendly Radio

DAPIL III BUTUH WAJAH BARU DAN BERANI DI LEGISLATIF

ArkiFM Friendly Radio

Leave a Comment