Jakarta – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tengah mengajukan revisi UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tak Sehat. Namun demikian, revisi yang masih dibahas di DPR RI ini menuai protes dari kalangan usaha lantaran menimbulkan ketidakpastian dalam dunia usaha, terutama pada pasal ketentuan denda, pasal karet, pelaporan merger, dan kewenangan menggeledah.
Ketua KPPU, Muhammad Syarkawi Rauf, mengungkapkan bahwa aturan yang memayungi lembaganya tersebut belum cukup menguatkan untuk menciptakan persaingan usaha tak sehat. Dengan kewenangan yang ada, lanjutnya, KPPU ibarat macan ompong tanpa taring ketika menyelidiki praktik persaingan usaha tak sehat.
“Kalau dengan UU yang sekarang malah tidak fair buat pelaku. Dengan kewenangan sekarang seperti macan ompong tanpa taring, suaranya keras tapi lemah,” kata Syarkawi di acara Economic Challenges Metro TV, Selasa (15/11/2016).
Syarkawi menjelaskan, KPPU dengan UU yang ada saat ini, juga tidak menempatkannya sebagai lembaga super body. Beberapa kewenangan dari mulai pelaporan, penyidikan, penuntutan, sampai memutuskan yang kerap dipersoalkan juga merupakan kewenangan yang berbeda dengan yang miliki kepolisian, kejaksaan, sampai pengadilan.
“KPPU seolah-olah super body, punya kewenangan menyelidiki sampai memutus. Di KPPU menyelidik bukan dalam rangka pro yustisia seperti halnya di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Tapi kewenangan itu dalam rangka meyakinkan pimpinan bahwa yang diputuskan itu bersalah atau tidak. Lagipula keputusan KPPU bisa diajukan ke Pengadilan Tinggi,” terangnya.
Soal pasal karet, menurut Syarkawi, justru malah membuka peluang bagi perusahaan yang dilaporkan menyanggah apa yang dituduhkan KPPU dalam persaingan tak sehat. Selama persidangan, terlapor diberi kesempatan memberikan bukti-bukti sanggahan.
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Bahlil Lahadalia, melihat KPPU yang ada saat ini memang perlu diperkuat. Selama ini, dirinya melihat banyak pengusaha UKM yang kalah bersaing dengan perusahaan besar dengan iklim persaingan kurang sehat.
“Saya melihat upaya pengentasan praktik monopoli di Indonesia belum kuat. Saya dari HIPMI selalu berjuang dengan UMKM. Maka kalau ada pengusaha mana yang tidak nyaman dengan penguatan KPPU, kita harus tanya ada apa?” ucap Bahlil.
Ia melihat di Jepang misalnya, pemerintahnya sangat serius menciptakan pemerataan usaha. Pengusaha besarnya naik, yang kecilnya ikut naik juga. Namun hal itu tak bisa diterapkan di Indonesia. Ketika pengusaha besar naik, pengusaha mikro dan kecil tak ikut naik karena aksesnya dimonopoli.
Contoh paling nyata, sambungnya, yakni perusahaan-perusahaan yang menguasai dari hulu ke hilir sehingga menutup persaingan untuk pengusaha mikro dan kecil. Dalam situasi tersebut, diakuinya, perlu perlakuan khusus melindungi usaha kecil.
“Ada pengusaha main di pangan, kebunnya punya dia, tenaga kerjanya punya dia, pengolahannya punya dia, pengemasannya punya dia, sampai kios punya dia. Kalau cara itu yang dipakai, maka konsep untuk saling mendorong tidak akan tercapai. Karena yang ada adalah penguasaan dan pengendalian pasar,” pungkas Bahlil. (dna/dna)
Sumber : detik[com]