ARTIKEL

Menanti Formulasi Kebijakan Pemda Pasca Komitmen Tujuan Global

Publikasi “Menyongsong SDGs Kesiapan Daerah-daerah di Indonesia” yang dikeluarkan oleh Universitas Padjadjaran Tahun 2018, menempatkan Provinsi NTB sebagai salah satu provinsi yang relatif paling tidak siap. Pemda Prov. NTB telah meluncurkan RAD SDGs, SDGs Center, Konsorium Riset SDGs, kampanye “Zero Waste”, namun Pemda belum meletakan dasar kebijakan yang inovatif dan solutif dalam mengahadapi berbagai kondisi empiris di NTB. Perlu formulasi dan reformulasi kebijakan, diantaranya Ranperda Sampah Prov. NTB dan Perda Sampah Kota Mataram yang tidak efektif dan sudah tidak relevan.

United Nations Development Programme (UNDP) menetapkan Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai “Global Goals” periode 2016-2030, guna meneruskan Millennium Development Goals (MDGs) yang berlaku pada periode 2000-2015. Indonesia merupakan salah satu negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berperan aktif dalam penentuan sasaran Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sebagaimana tertuang dalam dokumen Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development. Guna merespon hal tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan PP No. 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

PP tersebut mengamanatkan Gubernur menyampaikan setiap tahun laporan pencapaian atas pelaksanaan sasaran SDGs Daerah kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Kemudian Pasal 15 (1) menyatakan bahwa untuk pencapaian sasaran TPB Daerah, Gubernur menyusun RAD TPB 5 (lima) tahunan bersama Bupati/Walikota di wilayahnya masing-masing dengan melibatkan Ormas, Filantropi, Pelaku Usaha, Akademisi, dan pihak terkait lainnya. Provinsi NTB telah meluncurkan Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) 2019-2023, SDGs Center NTB, dan Konsorsium Riset SDGs pada 21 November 2018.

Secara historis, konsep Sustainable Development (Pembangunan Berkelanjutan) telah diadopsi pada Deklarasi Milenium PBB tahun 2000 yang memutuskan untuk mengadopsi semua tindakan lingkungan sebagai etika baru, yang kemudian direalisasikan dengan “Road map towards the implementation of the United Nations Millennium Declaration”, sehingga diputuskan landasan pembangunan global tahun 2000-2015 adalah Millennium Development Goals (MDGs). Indonesia telah melakukan harmonisasi dan sinkronisasi konsep pembangunan berkelanjutan ke dalam hukum dan dasar kebijakan nasional, diantaranya terlihat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Visi Dan Arah Pembangunan Jangka Panjang (PJP) Tahun 2005-2025, Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019. SDGs direspon dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Pembangunan dan pengembangan wilayah di Indonesia memberikan dampak buruk yang cukup signifikan terhadap lingkungan. Sustainable Development Report 2018 yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) menunjukan Indonesia mendapatkan nilai 99 dari 156 negara. Publikasi lain yaitu The Travel and Tourism Competitiveness Indeks 2017 yang dikeluarkan World Economic Forum menyatakan Indonesia memiliki poin kritis dalam pengelolaan keberlanjutan lingkungan yaitu memperoleh poin 131. Sustainable Development mengamanatkan pembangunan yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan sekarang dan generasi mendatang. Dengan pola pembangunan berkelanjutan generasi sekarang dan generasi yang akan datang mempunyai hak yang sama terhadap lingkungan hidup. Dengan memperhatikan kebutuhan dua generasi tersebut, dimaksudkan sebagai skema dalam pembangunan memperhatikan aspek-aspek lingkungan sebagai bagian pokok dalam integrasi pembangunan berbagai bidang.

Konsep pembangunan berkelanjutan di Provinsi NTB merupakan bagian RPJPD 2005-2025 dan RPJMD 2013-2018, dan arah pembangunan kepariwisataan dalam Perda Provinsi NTB No. 7 Tahun 2013 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2013-2028. Provinsi NTB merupakan provinsi yang meraih penghargaan juara satu Millennium Development Goals (MDGS) Award lima tahun berturut-turut sejak tahun 2011 hingga 2015.

Pencapaian NTB beberapa tahun belakangan memang sangat membanggakan, tahun 2017 pertumbuhan ekonomi NTB mencapai 7,1 persen, angka yang melampaui pertumbuhan ekonomi nasional (5.6 persen), pertumbuhan terutama didukung oleh sektor pertanian, tambang dan pariwisata. Berdasar Data BPS, dari sisi kesejahteraan masyarakat, NTB juga mengalami perbaikan. Tingkat kemiskinan NTB menurun dari 23,08 persen di 2008 menjadi 15,05 persen periode 2017. Tingkat pengangguran juga menurun dari 6,25 persen di tahun 2009 menjadi 3,32 persen di tahun 2017.

Di sisin lain, kondisi sumber daya manusia NTB menunjukan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB tahun 2017 mendapatkan poin 66.58, secara nasional berada di posisi ke-29. Triwulan I Tahun 2018, Provinsi NTB menempati posisi paling rendah se-Indonesia dalam hal pertumbuhan ekonomi. Keadaan diperparah dengan terjadinya Bencana Gempa di wilayah NTB, yang tentunya akan berdampak pada angka pertumbuhan ekonomi, peningkatan angka kemiskinan, inflasi, dan jumlah pengangguran di NTB.

Kesuksesan pencapaian MDGs selama 5 tahun berturut-turut tidak menjadi jaminan kesuksesan pencapaian SDGs. Dalam hal kesiapan mewujudkan SDGs, Publikasi “Menyongsong SDGs Kesiapan Daerah-daerah di Indonesia”yang dikeluarkan oleh Universitas Padjadjaran Tahun 2018, memberikan gambaran kondisi baseline dari 16 goals yang ingin dicapai secara urut waktu dan memetakan perkembangan dan kesiapan masing-masing Provinsi di Indonesia dalam mencapai target SDGs, hasil proyeksi terhadap Provinsi NTB menunjukan bahwa Provinsi NTB sebagai salah satu provinsi yang relatif paling tidak siap.

Disamping peluncuran RAD SDGs pada November 2018, mengingat persoalan sampah yang cukup kompleks di NTB, Pemda Prov. juga terlihat gencar memberikan kampanye “Zero Waste”, ditunjukan dengan komitmen Program “Zero Waste” oleh Bappeda Prov. NTB pada Januari lalu, kemudian peluncuran terobosan Pengolahan Sampah Organik menjadi Pupuk Cair. Selain itu Pemda Prov. NTB terus mendorong setiap Kab/Kota Mengkampanyekan “Zero Waste”. Kota Mataram sebagai ibukota provinsi juga berupaya mengkampanyekan “Zero Waste” walaupun belum memiliki kebijakan yang tepat untuk meletakan dasar pengelolaan sampah di NTB, Perda No. 10 Tahun 2008 yang telah dibentuk tidak efektif dan sudah tidak relevan, sehingga perlu reformulasi. Begitupun Ranperda Prov. NTB yang masuk tahap Propemperda, orientasi pengelolaan sampah ditekankan pada pengelolaan sampah regional, padahal perlu mempertimbangkan pengelolaan individu dan komunitas, beberapa rumusan lain yang tidak dimasukan yaitu terkait pembakaran sampah, pembatasan sampah plastik, kewajiban swasta/perusahaan dan masih terdapat formulasi lain yang tidak tidak sesuai dan tidak dimasukan.

Kondisi lain yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan sampah adalah hasil Susenas yang dimuat dalam publikasi BPS tentang Statistik Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2018 yang menunjukan sebesar 66,8% rumah tangga Indonesia memperlakuan sampah, dan hanya 1,2 % rumah tangga yang melakukan daur ulang. Data BPS yang dipublikasi tahun 2014 menyatakan hal serupa, namun terdapat variabel yang menunjukan bahwa perilaku bakar sampah di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan.

Pemda Prov. NTB dan beberapa Pemda Kab/Kota, terlihat cukup bergairah menyuarakan “Zero Waste”, namun seruan tersebut tidak diimbangi dengan formulasi kebijakan yang inovatif dan solutif, sehingga “Zero Waste”, terkesan inkonsisten dan hanya menjadi simbol “semiotik” tanpa diiringi dengan kebijakan yang betul-betul mengurangi sampah dan merubah orientasi masyarakat terhadap sampah.

Beberapa kondisi di atas, dibutuhkan upaya-paya percepatan dan intervensi kebijakan dari Pemda Provinsi kepada Pemda Kab/Kota dan Pemerintah Desa secara simultan, Pemda Prov. NTB dan Pemda Kab/Kota serta Pemerintah Desa perlu merespon secara kolektif dengan mendorong semua elemen di NTB melalui integrasi kelembagaan. RAD untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs), harusnya dapat menjadi dokumen yang memberikan pedoman dalam melaksanakan tujuan, sasaran dan tahapan pembangunan di daerah. SDGs Center NTB, dan Konsorsium Riset SDGs, merupakan instrumen yang sangat baik dari Pemda Prov. NTB dalam melaksanakan Perpres No. 59 Tahun 2017 serta bentuk komitmen Global dan melanjutkan prestasi MDGs. Namun, tentunya perlu langkah konkrit lebih lanjut melalui penyesuaian dengan berbagai kebijakan, terutama kebijakan Pemda Kab/Kota dan Pemerintah Desa, hal tersebut dapat dilakukan dengan penguatan hukum RAD SDGs NTB melalui pembentukan hukum, sosialisasi RAD SDGs, dan perlu membangun sistem berkelanjutan melalui model integarasi kolektif dan peningkatan kemitraan. Sosialisasi dan kemitraan, diantaranya unsur swasta, pemerintah desa, lembaga pendidikan sampai dengan Perguruan Tinggi, atau melalui Fakultas/Program Studi dan lembaga kemasyarakatan. Dengan demikian, “VISI” pembangunan untuk mewujudkan NTB GEMILANG adalah Visi bersama yang dapat dipahami dan dilaksanakan secara kolektif.

Oleh: Taufan, S.H., M.H
“Lembaga Pengembangan Wilayah NTB”

Related posts

DEA GURU

ArkiFM Friendly Radio

Kedermawanan Indonesia Jadi Asa Bangkit Dari Pandemi

Lawan Politisi Saweran

ArkiFM Friendly Radio

Leave a Comment