Pilpres dan Pileg usai, bukan berarti pesta demokrasi benar-benar selesai. Bersiap berikutnya ada pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020. Para politisi harus kembali memanaskan mesin. Secara keseluruhan di Indonesia ada 269 daerah. Dari NTB sendiri ada tujuh kabupaten/kota yang bakal ikut pilkada serentak. Di Pulau Lombok ada Kota Mataram, Lombok Tengah, dan Lombok Utara. Sementara di Pulau Sumbawa ada Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu, dan Kabupaten Bima.
Nama-nama para calon dengan hegemoni kendaraan politik di belakangnya sudah jualan. Menawarkan ragam program untuk membangun daerah. Tak terkecuali pula dari jalur perseorangan (independent). Mereka mulai menebar visi dan misi periode mendatang. Genderang yang sudah ditabuh ini karena tahapan bakal mulai September 2019.
Menarik untuk dicermati dalam pilkada serentak di NTB adalah keseriusan para calon independen. Acapkali mereka maju non partai untuk menaikkan pamor. Pada akhirnya para calon ini larut dalam hegemoni partai. Sampai hari ini, belum terlihat calon yang benar-benar serius menjadi petarung independen. Underestimate (minder). Kalah sebelum berperang.
Padahal menurut penulis, jalur perseorangan ini adalah antitesa atas dominasi parpol. Kecenderungan yang bisa menggunakan parpol harus bermodal besar. Dan diantara syarat lainnya adalah kader partai. Hak politik individu seolah tercerabut. Ini membuat dinamika politik kurang dinamis. Pertarungan politik selalu didominasi kelompok yang itu-itu saja. Atau kerap disebut dinasti politik. Sangat jarang wajah baru politik hadir.
Membangun Politik Partisipatif
Jalur independen sesungguhnya ketika dikelola serius dan rapi bisa menjadi lawan serius. Tentu dengan kerja politik yang sistematis. Bukan seperti pola independen yang terdesak tak mendapat kursi partai. Maju terpaksa.
Menarik membaca pandangan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz mengatakan. Dari hasil pantauannya saat proses dukungan sebagai calon perseorangan, yang dilakukan lebih bisa disimpulkan sebagai upaya mobilisasi bukan partisipasi. Inilah yang menyebabkan banyak calon perseorangan berguguran di medan perang. Buktinya, suara pasangan calon independen lebih rendah (defisit), dari jumlah dukungan yang diserahkan saat mendaftar.
Jika kita telaah berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, syarat dukungan calon perseorangan yang maju pada pilkada, yaitu 6,5 persen hingga 10 persen dari jumlah pemilih (DPT pilkada terakhir). Rinciannya, yaitu 10 persen untuk jumlah DPT 2 juta, 8,5 persen untuk jumlah DPT antara 2 juta-6 juta, 7,5 persen untuk jumlah DPT 6 juta-12 juta, dan 6,5 persen untuk jumlah DPT lebih dari 12 juta.
Sedangkan syarat minimal dukungan calon perseorangan yang maju tingkat bupati/wali kota yaitu 10 persen untuk jumlah DPT hingga 250.000. Kemudiab 8,5 persen untuk jumlah DPT antara 250.000-500.000, sementara 7,5 persen untuk jumlah DPT antara 500.000-1 juta; dan 6,5 persen untuk jumlah DPT di atas 1 juta. Apabila ada dukungannya tidak memenuhi syarat, atau karena terdapat kegandaan, maka perbaikan yang disetor sebanyak dua kali lipat. Misalnya, dukungan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 100 KTP, maka perbaikan yang harus disetor sebanyak 200 KTP.
Undang-undang diatas disatu sisi berat, jika dipandang sekadar mobilisasi. Menjadi ringan ketika bergerak partisipatif. Tumbuh gerakan dari bawah. Memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Dan independen ini memiliki kecenderungan besar di daerah dengan penduduk kecil dan masyarakat heterogen. Ambil contoh Kota Mataram. DPT terakhir di ibukota NTB ini 293 ribu. Artinya ada 24.905 KTP yang dipersiapkan. Katakan sebagai tambahan 10-20 persen jumlah KTP. Ya, setidaknya harus mengantongi 30 ribu KTP.
Bagi para calon yang hendak maju independen, penulis memandang mereka harus sungguh-sungguh serius membangun iklim partisipatif. Pastikan dukungan dari arus bawah ini nyata. Jangan lagi sekadar tebar pesona menarik minat parpol. Banyak yang bilang maju independen mahal?. Jawabannya relatif. Calon independen bisa menanyakan kepada para calon dari parpol, berapa besar biaya keluar untuk mendapat kendaraan. Bisa jadi lebih besar berkali-lipat dibanding independen. Saat ini kerahkan sumber daya yang ada, hitung kalkulasi secara serius. Kemudian yakinkan diri tim bekerja sungguh-sungguh.
Bambang Mei F / Didu
(Direktur M16)