Oleh: Iwan Nurdin
Salah satu prestasi besar Soeharto yang kerap diungkapkan adalah keberhasilannya dalam menciptakan swasembada pangan (lebih tepatnya beras) pada tahun 1984. Meski swasembada ini hanya bertahan dua tahun saja. Namun, biaya sosial dan ekonomi dari swasembada beras tersebut terus saja membebani bangsa sampai sekarang.
Swasembada beras tersebut, dapat tercapai melalui program revolusi hijau yang telah membuat petani mengalami ketergantungan kepada produk industri pertanian seperti benih, pestisida, pupuk kimia.
Sampai sekarang, ketergantungan tersebut berkontribusi penting dalam memiskinkan petani sebab setiap tahun uang petani banyak terpakai untuk konsumsi benih, pestisida dan pupuk.
Dari sisi pemerintah, anggaran pertanian lebih banyak terserap untuk belanja semacam ini ketimbang memperbaiki jaringan irigasi dan sistem pasar produk pertanian kita. Kesemuanya telah memberikan keuntungan yang besar bagi industri bukan petani.
Revolusi hijau juga telah membawa kerugian yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Akibat penggunaan benih pabrik, ribuan varietas benih pertanian yang secara turun temurun dimiliki rakyat menjadi punah. Penggunaan produk kimia secara berlebihan juga telah merusak sumber mata air, hara tanah, dan menghasilkan produk pertanian yang tidak aman dikonsumsi oleh masyarakat secara terus menerus dan jangka panjang. Padahal, biaya memulihkan kerusakan tersebut sangat mahal, misalnya pada tanah yang terkontaminasi pupuk kimia dan pestisida sedikitnya perlu diisitirahatkan selama beberapa tahun.
Dalam pelaksanaannya, revolusi hijau juga telah mengakibatkan guncangan yang hebat terhadap dasar-dasar sosial politik desa. Sebab, pelaksanaannya didahului dengan penyeragaman struktur pemerintahan desa melalui UU No.5/1979 sehingga memudahkan keterlibatan struktur militer dan birokrasi dalam memaksa masyarakat menjalankan program ini.
Sampai sekarang, akibat penyeragaman ini telah mengakibatkan hilangnya pranata sosial masyarakat pedesaan yang beraneka ragam dan merupakan kekayaan “Bhineka Tunggal Ika” kita yang tak ternilai harganya seperti gampong, nagari, huta, marga, pasirah dst.
Jika demikian, apakah FAO telah keliru memberi penghargaan kepada Soeharto? Tidak. FAO memang dengan sengaja memberi penghargaan kepada Soeharto karena ketaatannya pada program Revolusi Hijau tersebut. Sehingga, harapannya program ini bisa diadopsi oleh negara-negara lainnya. Tak heran lembaga-lembaga dunia semacam FAO ini begitu mudah balik arah tanpa merasa bersalah.
Sebagai pembanding, kita bisa melihat tingkah Bank Dunia, yang begitu mudah memberi gelar dan puja-puji terbaik kepada Soeharto dan Orde Baru, tetapi dengan mudah pula memberi gelar terburuk ketika angin kekuasaan berubah. Jadi, prestasi dan penghargaan dari FAO tidak salah sasaran.
Seberapa besar keuntungan dari swasembada beras semasa Soeharto dapat dinikmati petani? Swasembada beras semasa Soeharto sebenarnya tidak menaikkan pendapatan sebagian besar petani kita (SAE:1983). Sebab, sebagian besar petani kita sebenarnya adalah petani gurem dan buruh tani. Bagi kelompok ini, program revolusi hijau telah membuat biaya produksi tidak sebanding dengan hasil pertanian. Sementara bagi buruh tani revolusi hijau juga telah mengakibatkan peluang kerja disektor pertanian semakin menipis akibat mekanisasi pertanian.
Turunan dari persoalan pertanian pangan semacam ini terus mendera bangsa kita, sebab kemiskinan pedesaan tersebut kemudian menjalar hingga menjadi masalah perburuhan dan perkotaan akibat urbanisasi bahkan terakhir menjadi persoalan kebangsaan kita ketika para penduduk desa yang miskin ini menjalar ke luar negeri untuk menjadi TKI dengan keterampilan rendah dan tanpa perlindungan dari negara.
Jika bukan kepada petani pangan, mungkin Soeharto punya rekaman yang baik kepada petani perkebunan rakyat. Tentu kita masih ingat bagaimana kebijakan Soeharto dalam menyangga harga cengkeh (baca: melakukan monopoli) melalui BPPC milik Tomi Soeharto yang telah membuat jutaan petani cengkeh di Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah dan Jawa Timur gulung tikar.
Dahulu, jalan raya dari Bakauheni menuju Bandar Lampung di sisi kanan dan kirinya adalah kebun cengkeh rakyat nan makmur. Karena BPPC, ribuan pemuda ditarik dari Jawa karena orang tuanya menyerah kalah, tak bisa lagi membayar kuliah anak mereka. Sekarang, yang tersisa adalah kampung-kampung miskin.
Monopoli ini juga berlaku dalam tataniaga jeruk, hasilnya pertanian jeruk tak pernah jadi tuan di rumahnya sendiri. Apalagi sekarang, pasar bebas buah telah menghancurkan kesempatan untuk bangkit.
Lalu, mengapa elit politik begitu getol hendak memberi gelar pahlawan kepada Soeharto? Tentu bukan untuk menyelamatkan dan mengenang Soeharto, tapi sebuah penyelamatan dari anggota kelompok rezim otoriterian Soeharto dari sebuah tanggungjawab dan hukuman dari masa lalu dan masa sekarang. “Saya hanya menjalankan perintah pak harto”, begitulah kilah para pencoleng yang sampai sekarang masih berkuasa dan terus merampok kekayaan negeri. “Selain itu, bukankah perintah pak harto tak ada yang salah, bukankah ia adalah sosok pahlawan” ucap mereka sambil tersenyum. Barangkali itulah maksud puja puji terhadap Soeharto.
(Editor : Unang Silatang/ArkiRadio)