ARTIKEL

Festival Taliwang (Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal)

Oleh: Agus Berani

(Sekretaris Umum Persatuan Pemuda dan Mahasiswa Sumbawa Barat (PPM SB)-JABODETABEK)

Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) kembali memperingati hari jadinya yang ke-16 tahun (20/11/2003-20/11/2019). Banyak perayaan yang ikut mewarnai kemeriahan HUT KSB ini, salah satunya dengan diadakan Festival Taliwang. Festival Taliwang dihajatkan sebagai respon pemerintah daerah dalam mengembangkan kearifan lokal. Beragam kekayaan budaya yang dimiliki masyarakat Pariri Lema Bariri ditampilkan dalam Festival Taliwang seperti: Barampok, Konser Musik Garap Baru, Tarian Benteng Brinas, Tarian Barapan Kebo, Barapan Kebo, Iring Kebo Lumpur Seni, Tarian Kolong dan Skeco di atas Kerbau. Antusiasme masyarakat dalam memeriahkan Festival Taliwang tak terbendungkan. Di satu sisi ketika bersinggungan dengan kaum “agamis” tak jarang yang merespon bahwa perayaan budaya lokal yang disajikan dalam Festival Taliwang minim nilai atau menciderai Islam sebagai landasan hukum utama masyarakat Sumbawa.

Dalam tulisan ini saya mencoba mengawali dengan sebuah pertanyaan apakah budaya lokal dalam Festival Taliwang dengan Islam mengalami penolakan, atau malah sebaliknya saling mempengaruhi dalam performance yang baru? Apakah ia Islam(i) ataukah tidak? Sebenarnya pertanyaan ini adalah pertanyaan klasik yang sering terjadi di pelbagai daerah yang sekian lama menjadi materi debat antara kalangan muslim tradisionalis dan reformis, juga para ilmuwan yang mencoba menteoretisasikannya.

Antara budaya lokal dengan Islam, dalam pandangan Clifford Geertz (Agama Jawa, 1985), agama sebagai sistem kebudayaan. Dalam pandangannya kebudayaan sebagai pola kelakuan yang terdiri dari serangkaian aturan-aturan, pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk yang digunakan manusia untuk mengatur tingkah lakunya. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan dari pengorganisasian pengertian-pengertian yang tersimpul dalam simbol-simbol yang berkaitan dengan ekspresi manusia. Karena itu Geertz kemudian memahami agama tidak saja sebagai seperangkat nilai di luar manusia tetapi juga merupakan sistem pengetahuan dan sistem simbol yang memungkinkan terjadinya pemaknaan.

Itulah sebabnya secara historis Islam datang ke pelbagai belahan Nusantara dengan suasana yang relatif damai nyaris tanpa ketegangan dan konflik. Islam dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat sebagai sebuah agama yang membawa kedamaian, meskipun pada masa itu masyarakat telah beragama dan memiliki kepercayaan tersendiri baik animisme, dinamisme, Hindu maupun Budha. Penyebaran Islam menyebabkan munculnya corak dan varian Islam yang memiliki kekhasan dan keunikan. Hal ini harus disadari bahwa eksistensi Islam di Indonesia tidak pernah tunggal.

Bagaimanapun juga, setiap perjumpaan dua tradisi pasti mengakibatkan adanya situasi saling memberi. Islam lokal tidak bisa mengelak dari situasi ini. Fakta inilah yang seringkali disebut dengan istilah Islam sinkretis, di mana pelbagai keyakinan diadopsi untuk diharmoniskan di dalam semangat Islam. Sesuai dengan tuntutan Islam normatif atau tidak, hal itu bukan menjadi kepentingan utamanya. Dalam pengertian ini, Islam lokal selalu diandaikan bersifat sinkretis, atau paling tidak adaptasionis.

Hal ini dapat dipahami karena setiap agama tak terkecuali Islam, tidak lepas dari realitas di mana ia berada. Islam bukanlah agama yang lahir dalam ruang yang hampa budaya. Antara Islam dan realitas, meniscayakan adanya dialog yang terus berlangsug secara dinamis.Ketika Islam menyebar ke Indonesia, Islam tidak dapat terlepas dari budaya lokal yang sudah ada dalam masyarakat. Antara keduanya meniscayakan adanya dialog yang kreatif dan dinamis, hingga akhirnya Islam dapat diterima sebagai agama baru tanpa harus menggusur budaya lokal yang sudah ada. Dalam hal ini budaya lokal yang berwujud dalam tradisi dan adat masyarakat setempat, tetap dapat dilakukan tanpa melukai ajaran Islam, sebaliknya Islam tetap dapat diajarkan tanpa mengganggu harmoni tradisi masyarakat.

Dialog kreatif antara budaya lokal tidaklah berarti “mengorbankan” Islam, dan menempatkan Islam kultural sebagai hasil dari dialog tersebut sebagai jenis Islam yang “rendahan” dan tidak bersesuaian dengan Islam yang “murni” yang ada dan berkembang di Jazirah Arab, tapi Islam kultural dapat dilihat sebagai bentuk varian Islam yang sudah berdialektika dengan realitas di mana Islam berada dan berkembang.

lokalisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Karena itu inti lokalisasi Islam adalah kebutuhan bukan untuk menghindarkan polarisasi antara agama dan budaya. Sebab polarisasi demikian tidak terhindarkan. lokalisasi Islam, dengan demikian menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuk yang autentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya. Dalam prakteknya, konsep lokalisasi Islam ini dalam semua bentuknya dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi keanekaragaman interpretasi dalam praktek kehidupan beragama di setiap wilayah yang berbeda-beda.

Bila ditelusuri lebih jauh, lokalisasi Islam di Indonesia merupakan keniscayaan sejarah. Sejak awal perkembangannya, bagaimana peran Walisongo dan pengikutnya dengan melakukan trans-formasi kultural dalam masyarakat. Islam dan tradisi tidak ditempatkan dalam posisi yang berhadap-hadapan, tetapi didudukkan dalam kerangka dialog kreatif, di mana diharapkan terjadi transformasi di dalamnya. Proses transformasi kultural tersebut pada gilirannya menghasilkan perpaduan antara dua entitas yaitu Islam dan budaya lokal. Perpaduan inilah yang melahirkan tradisi-tradisi Islami yang hingga saat ini masih dipraktekkan dalam pelbagai komunitas Islam kultural yang ada di Indonesia khususnya di Sumbawa.

Nilai-nilai luhur yang ditampilkan dalam Festival Taliwang sudah tergambarkan dalam semua perayaan, artinya keseluiruhan dari perayaan Festival Taliwang adalah sebagai ajang silaturrahmi. Dalam hukum Islam bukangkah silaturrahmi selain diberikan ganjaran pahala, juga memperpanjang usia? Sebagaimana juga diungkapkan Sutradara Pesona Lumpur Taliwang Eko Supriyanto alias Eko Pece (Beritasatu.com 20/11/2019) bahwa Tari Barapan Kebo menggambarkan semangat, kekuatan dan kelincahan karakter kerbau yang ditampilkan dengan gerakan-gerakan sang penari. Kemudian Tari Kolong akan dibawakan 50 penari wanita dengan konsep konservasi air sebagai sumber kehidupan. Di sini, penari dituntut untuk mengeksplorasi gerakannya sendiri dengan gentong sebagai medianya. Selanjutya, makna yang dibawakan Tari Kareng adalah representasi semangat dalam mencapai tujuan. Visualisasi yang ditampilkan berupa Kareng dan alat pengolah tanah khas masyarakat Sumbawa. Tarian ini hakikatnya menggunakan kerbau sebagai inspirasi. Spirit kerbau itu luar biasa dan dengan kekuatan yang dimilikinya bisa memiliki banyak fungsi.

Pesona performa juga dikarenakan orkestrasi musik yang dikemas menarik. Elaborasi unsur bunyi, tempo, dan kekuatan vokal hingga memunculkan harmoni dari Sakeco, Serunai, Kendang Bambu dan Rampak Gong Gendang memanjakan telinga para pengunjung. Untuk Sakeco menjadi tutur Sumbawa dalam menginspirasi alam. Nasehat yang menjaga harmoni manusia dengan alam sekaligus posisinya yang bermartabat. Musik etniknya juga semakin berwarna dengan Saketa, luapan kegembiraan sembari mengumandangkan Lawas.

Lebih lanjut Eko Pace menjelaskan “Dengan terus dilestarikan seperti ini, beragam kearifan lokal akan terus hidup di dalam masyarakat Sumbawa. Keberadaannya tentu menjadi potensi besar bagi pariwisata Sumbawa. Pemanfaatannya bisa mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat,” bukankah hal tersebut juga merupakan spirit ke-Islaman bahwa manusia harus bisa memberi kemanfaatan kepada manusia lainnya, dan masih banyak makna-makna simbolik lainnya yang secara keseluruhan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT.

Dengan demikian dapat dipahami antara agama (Islam) dan budaya (lokal) masing-masing memiliki simbol-simbol dan nilai tersendiri. Agama (Islam) adalah simbol yang melambangkan ketaatan kepada Allah. Kebudayaan (lokal) juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya dengan ciri khas kelokalannya. Agama memerlukan sistem simbol dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan . Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (perenial), dan tidak mengenal perubahan-perubahan (absolut) sedangkan kebudayaan bersifat particular, relative dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang secara pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektifitas tidak akan mendapatkan tempat.

Selanjutnya dalam banyak aktivitas adat telah diadaptasi dengan prinsip-prinsip ke-Islaman. Islam diterjemahkan ke dalam perangkat kehidupan lokal dengan tetap mempertahankan pola yang ada kemudian ditransformasi ke dalam esensi yang lebih religius (tauhid). Dengan menggunakan potensi lokal ini digunakan sebagai strategi untuk membangun spiritualitas tanpa karakter ke-Araban. Islam dalam nuansa adat Sumbawa diinterpretasi kedalam nilai dan tradisi sehingga membentuk identitas masyarakat Sumbawa. Akhirnya, perjumpaan adat dan agama dalam budaya lokal masyaraat Sumbawa yang ditampilkan dalam Festival Taiwang menunjukkan telah terjadi dialog dan merekonstruksi sebuah budaya baru dalam nuansa lokal.

Related posts

DAPIL III BUTUH WAJAH BARU DAN BERANI DI LEGISLATIF

ArkiFM Friendly Radio

AMNT Oh AMNT

Catatan Perlawanan Anak Petani (1)

ArkiFM Friendly Radio

Leave a Comment