ARTIKEL

Darurat! Sodomi Menjangkiti, Solusi Islam yang Dinanti.

Foto: Ilustrasi

Penulis : Rika Afriyanti

Manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu Wata’ala sebagai makhluk yang paling mulia di antara makhluk-makhluk Allah lainnya. Dianugerahkan kepadanya naluri, salah satunya adalah naluri melestarikan keturunan(Gharizah nau’) dan diberikannya pula akal yang membedakannya dengan hewan.

Dengan adanya akal, manusia dapat membedakan antara perbuatan baik dan buruk secara sadar, dan sepatutnya mengikuti aturan-aturan Allah Subhanahu Wata’ala. Dalam menyalurkan gharizah nau’, hewan melakukan hubungan seksual dengan sembarangan tanpa aturan, maka manusia yang memiliki kelebihan akal tidak sepantasnya melakukan hal yang sama.

Namun, pemisahan agama dari kehidupan(Sekulerisme), yang telah merasuki kaum muslim, sehingga agama hanya mengatur hubungan antara manusia dengan sang pencipta, berkutat di area peribadatan, atau disebut ibadah ritual. Sedangkan ditempat lainnya, tuhan tidak berhak mengatur kehidupan manusia, seperti arena politik, ekonomi, pendidikan hingga kesehatan, jika berani memasuki maka akan dimata-matai, dihadang, diberangus, dicap RaDiKal, intoleran, tidak sesuai zaman, dll.

Kapitalisme yang berasaskan sekulerisme, melahirkan sistem demokrasi yang berasaskan kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berperilaku. Sehingga memunculkan manusia yang mengedepankan hawa nafsu dibandingkan ketundukan terhadap wahyu. Akibatnya, perilaku yang ditampilkan begitu menyimpang dari syariat Islam termasuk diantaranya banyak kasus penyimpangan sosial yang berkaitan dengan seksual. Kasusnya pun memiliki beragam jenis dan dilakukan oleh orang dewasa, remaja bahkan anak-anak. Penyimpangan ini seperti pemerkosaan, biseksual, transgender, pencabulan terhadap anak-anak, homoseksual, sodomi, dll.

Seperti yang tengah terjadi di Sumbawa Barat. Radio Arki – Sungguh bejat kelakuan pria berinisial RM alias Tamara (35 tahun) ini. Pria yang sehari hari berprofesi sebagai penata rias di sebuah salon yang berada di Kelurahan Dalam Kecamatan Taliwang ini, nekat menyodomi seorang bocah laki laki berinisal RR (14 tahun), Sabtu (3/10/20). Akibat kelakuannya, Tamara ditangkap Team Opsnal Polres Sumbawa Barat dirumahnya, Senin (12/10/20).

Kapolres Sumbawa Barat, AKBP Herman Suriyono, S.Ik.,MH melalui PS Paur Subbag Humas Bripka Mayadi Iskandar kepada arkifm.com membenarkan kejadian tersebut. Kepolisian Resor Sumbawa Barat yang mengetahui adanya kasus pencabulan anak dibawah umur, langsung bergerak cepat. Tamara diringkus team opsnal dirumahnya yang berada di Lingkungan Dalam. Tamara dan barang bukti berupa pakaian korban diamankan ke Mapolres Sumbawa Barat guna kepentingan penyidikan lebih lanjut. (Enk. Radio Arki)

Bagaimana Islam memandang masalah ini ?

Aktivitas seksual antara laki-laki dengan laki-laki(homoseks) dan perempuan dengan sesama perempuan(lesbian) tersebut dikenal dengan istilah liwath. Penyimpangan seksual ini, pertama kali terjadi pada kaum Nabi Luth. Beliau diutus Untuk mendakwahi dan amar ma’ruf nahi munkar kepada mereka.

Allah Subhanahu Wata’ala  menjelaskan hal ini : “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: ’Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?’ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan : ’Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.’ Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).” (QS. Al-A’raf : 80-83).

Hasrat homoseks atau lesbian muncul bila terdapat rangsangan yang mendorong untuk melakukannya. Rangsangan akan timbul dari pikiran dan realitas yang nampak. Untuk itu, cara mencegahnya yaitu dengan menghilangkan rangsangan tersebut.

Pertama, terkait pemikiran. Pemikiran yang mendorong untuk melakukan homoseks atau lesbi adalah pemikiran serba bebas, yakni liberalisme materialisme.
Liberalisme memandang bahwa manusia bebas melakukan apa saja. Tolak ukurnya pun bersifat materialistik. Karenanya, aktivitas liwath hanya sebatas cara memuaskan hasrat seksual yang mereka sebut dengan orientasi seksual, yang penting sama-sama suka. Padahal, Islam memandang bahwa seksualitas merupakan potensi yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala  untuk melanjutkan keturunan. Tidak mengherankan bila hubungan seksual diibaratkan Al-Qur’an sebagai tempat bercocok tanam (lihat Al-Qur’an surat al-Baqarah : 223).

Selain itu, alasan hak asasi manusia (HAM) sering kali ditanamkan sebagai dalih untuk melakukan perbuatan kaum Sodom. Selama pemikiran-pemikiran ini terus dikembangkan di tengah masyarakat, maka atas nama kebebasan pribadi dan berekspresi penyimpangan seksual tersebut tetap mendapat tempat. Oleh sebab itu, pemikiran liberalisme tidak boleh dikembangkan di masyarakat.

Kedua, secara individual menjauhi hal-hal yang dapat mengundang hasrat melakukan liwath. Islam sangat memperhatikan fitrah manusia. Terkait masalah ini, Rasulullah bersabda :  ”Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, jangan pula perempuan melihat aurat perempuan. Janganlah seorang laki-laki tidur dengan laki-laki dalam satu selimut, begitu juga janganlah perempuan tidur dengan perempuan dalam satu selimut.” (HR. Muslim).

Laki-laki yang melihat aurat laki-laki ataupun perempuan yang melihat aurat sesama perempuan akan terangsang. Ini adalah bibit penyimpangan seksual. Apalagi kalau tidur dalam satu selimut. Islam sangat ketat memerintahkan hal tersebut. Bahkan, dimulai sejak anak baligh.

Merujuk pada dalil larangan mudhâja’ah (tidur bersama), dengan tegas telah disebutkan oleh Nabi saw. :

مُرُوا أَوْلاَدَكُم بالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْع سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في المَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika usia mereka tujuh tahun; pukullah mereka karena (meninggalkan)-nya saat berusia sepuluh tahun; dan pisahkan mereka di tempat tidur.”(HR Abu Dawud)

Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk memisahkan tempat tidur anak-anak. Padahal tidak ada keraguan sedikitpun, ketika mereka tidur dalam satu ranjang hal itu belum bisa mengantarkan mereka dalam perbuatan zina atau sodomi, karena belum ada hasrat (syahwat) untuk itu di usia tersebut. Dengan begitu, perintah “memisahkan tempat tidur” tersebut lebih diarahkan pada perbuatannya itu sendiri, yaitu mudhâja’ah, bukan karena zina atau sodominya. Karena itu perbuatan mudhâja’ah ini haram.

Ketiga, secara sistemik hilangkan berbagai hal di tengah masyarakat yang dapat merangsang orang untuk mencoba-coba. Misalnya, hentikan pornografi terkait homo dan lesbi.
Kini, di dunia maya berkeliaran promosi tentang itu. Drama-drama liwath kian gencar dipublikasikan. Penampilan laki-laki meniru perempuan atau perempuan meniru lak-laki semakin menggila, padahal Islam melarangnya.

”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam melarang laki-laki yang meniru perempuan, dan perempuan yang meniru laki-laki” (HR. Bukhari).

Keempat, terapkan hukuman. Bila berbagai pencegahan telah dilakukan namun masih juga terjadi, maka pengadilan dalam pemerintahan Islam menerapkan hukuman sesuai syara terhadap mereka.
Perbuatan tersebut terkategori perbuatan kriminal. Bila pengadilan menemukan bukti dan diputuskan di pengadilan, hukuman bagi para pelakunya adalah hukuman mati.
Hal ini didasarkan kepada sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam.
Beliau Shallallahu ‘alaihi Wassallam bersabda : ”Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (liwath) maka hukum matilah baik yang melakukan maupun yang diperlakukannya.” (HR. Al-Khomsah kecuali an-Nasa’i).

Selain itu, para sahabat telah berijma’ bahwa hukuman bagi mereka adalah hukuman mati. Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa Abu Bakar mengumpulkan orang terkait seorang laki-laki yang menggauli sesama lelaki sebagaimana menggauli perempuan. Beliau bertanya kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Semuanya sepakat pelakunya dijatuhi hukuman mati (Lihat, Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-’Uqubat, hal. 80-82).

Hukuman inilah yang akan memberikan efek jawabir (penebus) dan zawajir (pencegah). Disebut pencegah, karena dengan diterapkannya sanksi akan memberikan shock therapy sehingga orang lain yang akan melakukan kesalahan yang sama dapat dicegah.
Hukuman tersebut akan memberikan efek jera kepada siapa pun. Adapun yang dimaksud penebus, dikarenakan ’uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara ketika di dunia. Sanksi dijatuhkan kepada orang yang bermaksiat secara tegas dan tanpa membedakan status sosial, gender ataupun harta. Dan yang bertanggung jawab melaksanakan uqubat ini adalah negara bukan individu. Tidak seperti sistem saat ini yang hanya memberikan sanksi sekian tahun penjara bagi pelaku, tak ada efek jera, kasus kejahatan sebagaimana yang terjadi pun tidak akan selesai melainkan akan terus berulang.

Hikmah :
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah Subhanahu Wata’ala bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah : 50).

Related posts

Menggeser Jagung dari Areal Perhutanan Sosial di Kabupaten Sumbawa Barat

ArkiFM Friendly Radio

Menolak Provokasi Dengan Provokasi, Siapa Provokator Sebenarnya?

ArkiFM Friendly Radio

Syariah Islam : Hak Rakyat Sepenuhnya Atas Tambang Berlimpah

ArkiFM Friendly Radio