ARTIKEL

Bencana, Bukan Salah Hujan?

Oleh: Ummu Fatih Bayhaqi
(Praktisi Pendidikan dan Aktivis Muslimah)

Indonesia dirundung duka. Mengawali tahun 2021, kurang dari satu bulan sejak tanggal 1 hingga 23 januari 2021 sudah sebanyak 197 bencana alam terjadi. BNPB dalam keterangan resminya di laman twittwer, menyampaikan bahwa mayoritas bencana tersebut merupakan bencana hidrometeorologi atau bencana yang terjadi sebagai dampak dari fenomena meteorologi/alam. Sementara yang paling mendominasi adalah bencana banjir. Tercatat, bencana banjir menempati angka kejadian tertinggi yaitu 134 kejadian dibanding bencana lain seperti longsor 31 kejadian dan puting beliung sebanyak 24 kejadian (Tirto.id, 20/01/21).

Bencana banjir dengan kejadian tertinggi, menimbulkan pertanyaan besar terkait sebab terjadinya banjir sebagai bencana dengan kejadian terbanyak dirasa tidak lazim terjadi dalam waktu kurang dari sebulan itu. Dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat banjirpun parah, bahkan diwilayah tertentu merenggut korban jiwa.

Dilansir dari media online (20 Januari 2021), hujan disebut-sebut sebagai penyebab banjir di Kalsel di hampir 10 kabupaten/kota pada awal tahun ini. Salah satu yang mengatakan demikian adalah presiden Joko Widodo saat meninjau lokasi. Senada dengan itu, tim Dittipiter yang diterjunkan oleh Bareskrim Polri juga menyampaikan bahwa timnya menemukan beberapa penyebab banjir, salah satunya adalah curah hujan yang sangat tinggi. Namun dituturkan bahwa tim tersebut belum melakukan pemeriksaaan terhadap dinas Lingkungan hidup setempat (detiknews, 22/01/2021). Sehingga belum komprehensif bila disebut penyebabnya adalah hujan.

Sementara itu, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) berpendapat bahwa, banjir terjadi disebabkan oleh aktivitas eksploitasi berlebihan perusahaan sehingga menimbulkan kerusakan alam. Bahkan coordinator jatam Merah Johansyah mengatakan bahwa, ekosistem memang dirusak oleh perizinan tambang dan sawit, kawasan-kawasan yang punya fungsi ekologi terganggu semisal kawasan gambut, hulu, badan sungai, dan kawasan karts.

Dikutip dari kompas.com (20 Juli 2020), Forest Watch Indonesia (FWI) Mencatat laju kehilangan tutupan hutan periode 2013-2017 mencapai rata-rata 1,47 juta hectare per tahunnya. Kalimantan dan Sumatera yang mendominasi (> 50% dari luas total deforestasi) dengan proyeksi tren kehilangan hutan yang akan bergeser kearah Indonesia Timur sekitar 245 ribu Hektare/tahun pada periode 2017-2023. Data dari FWI ini cukup mengkhawatirkan, sebab banjir yang melanda Kalsel di 10 Kabupaten/kota diduga kuat sebagai dampak dari deforestasi. Awal tahun ini saja sudah sedemikian rupa, belum lagi berlanjut hingga tahun 2023.

Jatam mencatat, luas wilayah Kalsel 3,7 juta hectare, 33 % nya setara dengan 1,2 juta hectare dikuasai pertambangan batu bara dengan total perizinan mencapai 553 IUP Non-CnC (Izin Usaha Pertambangan Non Clean and Clear) dan 236 IUP CnC ( Izin Usaha Pertambangan Clean and Clear). Sementara luas perkebunan sawit mencapai 618 ribu hektare atau setara 17 persen luas wilayah. Secara administrative, ijin usaha yang memenuhi syarat administrasi adalah IUP CnC, sedangkan Non-CnC tidak. Dari data yang dicatat Jatam ini, Nampak yang tidak memenuhi syarat administrative lebih banyak. Oleh karenanya, sangat patut jika keluarnya perizinan tersebut dikritisi.

Jumlah penguasaan wilayah oleh perusahaan tambang dan lahan sawit, diduga menggeser fungsi ekologi yang sejatinya membantu keseimbangan alam. Oleh karenanya, sangat wajar apabila curah hujan yang sangat tinggi itu tak lagi mampu ditampung oleh sungai akibat menurunnya daya serap tanah, karena kehilangan ekosistemnya akibat deforestasi. Dalam hal ini, BNPB pun menyampaikan akan melakukan pengkajian lebih jauh yang akan melibatkan Kementrian Lingkungan Hidup dan kehutanan (cnbc Indonesia, 16/01/2021).

Apabila bencana banjir adalah benar disebabkan oleh pergeseran fungsi ekologi akibat deforestasi oleh existensi secara massif pertambangan dan meluasnya lahan sawit?, maka penerapan system kapitalisme yang berasaskan untung-rugi ini yang telah mengakomodir perizinan tambang dan perkebunan sawit kepada para kapitalis swasta asing, maupun domestik yang berdampak deforestasi. Sudah seharusnya kita beralih kepada system lain yang akan betul-betul menjaga asset umum untuk kebaikan alam dan kemaslahatan rakyat. Kenapa beralih kepada system lain?, sebab terjadinya deforestasi yang mengakibatkan banjir tidak terlepas dari adanya izin usaha. Sementara yang memberikan izin usaha, tidak lain adalah pemerintah sendiri yang sudah diakomodir oleh UU yang merupakan produk system kapitalisme yang sangat principle.

Melirik Islam Sebagai Solusi Alternative

Islam dengan konsepnya yang sangat komprehensif, menunjukkan bahwa bukan hanya sekedar agama yang mengurusi urusan spiritual belaka, akan tetapi konsep yang sangat fundamental dengan segala derivatenya totalitas mengatur kehidupan termasuk didalamnya bagaimana mengelola lingkungan. Islam menyerasikan pembangunan dengan karakter alam dan tanggung jawab Negara untuk melindungi rakyat dari bencana. Islam memandang, kekayaan alam hutan, gunung, laut, sungai dan segala bentuk SDA merupakan kepemilikan umum yang berarti pengelolaannya oleh Negara dan hasilnya diserahkan kepada umum (rakyat) dalam bentuk fasilitas kesehatan dan pendidikan yang gratis berkualitas, sarana prasarana public yang memadai dan layak, serta menyediakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya untuk rakyat agar bias memenuhi kebutuhan hidupnya yang lain.

Didalam islam, penguasa sebagai refresentasi Negara adalah “pelayan” yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya secara menyeluruh, bukan hanya urusan para kapitalis dalam memuluskan kapitalisasi sector ekonomi yang justru seolah menunjukkan bahwa penguasa hanyalah agen korporasi. Islam tidak akan pernah membuka kran kebebasan dalam hal harta kepemilikan umum (SDA) untuk dimiliki dan dikelola swasta asing amaupun domestic. Islam tidak akan pernah membiarkan harta kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah) manfaatnya untuk dinikmati oleh segelintir orang atau oleh kelompok tertentu, akan tetapi untuk seluruh rakyat tak pandang bulu baik muslim atau non muslim. Dari sini Nampak gamblang perbedaaan antara system buatan manusia, yakni kapitalisme dengan system buatan pencipta.

Islam tidak akan pernah memberi peluang kepada Negara menuju korporatokrasi, serta memblokade penguasa untuk tidak diatur dan disetir oleh para pengusaha raksasa (kapitalis) dalam setiap kebijakan yang dibuat khususnya terhadap perusahaan-perusahaan tambang. Sebab jika sebaliknya, wajar apabila realitas bencana yang terjadi saat ini akibat salah kelola hutan oleh swasta yang hanya berorientasi pada profit semata, tanpa memperhatikan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Bencana alam akibat kerusakan ekologis adalah buah busuk yang menggiringi pembangunan eksploitatif .
Allah SWT sudah mengingatkan dalam firman-Nya: “Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka. Agar mereka kembai ke jalan yang benar.” (TQS Ar-Rum, 41).

Jika dikaitkan dengan bencana banjir yang terjadi saat ini, ayat diatas secara jelas menyampaikan kepada kita bahwa, musibah bencana yang terjadi tidak terlepas dari ulah manusia yang salah kelola hutan dan serakah mengabaikan dampak kerusakan lingkungan. Data dari FWI tentang deforestasi yang brutal tidak bisa dipungkiri realitasnya, sehingga mengalibikan hujan sebagai penyebab adalah bentuk pelepasan tanggungjawab, dan bentuk kelancangan manusia menentang qadarulloh bahwa hujan diturunkan atas kuasa Allah SWT. Artinya, manusia mencoba menyalahkan Allah SWT, ini sangat diluar nalar sebagai orang beriman. Bahkan, seharusnya ayat diatas bagi orang beriman akan dijadikan sebagai petunjuk bahwa musibah bencana banjir yang terjadi merupakan teguran dari Allah SWT agar manusia kembali ke jalan yang benar, yakni menjauhi maksiat dan bertaubat kepada Allah. Sementara maksiat terbesar adalah, mengabaikan aturan pencipta untuk mengatur kehidupan kita termasuk urusan pengelolaan Sumber Daya Alam, serta bertaubat yaitu menyesali kemaksiatan ini dan bersungguh sungguh agar terikat dengan aturan Allah.

Dengan menerapkan system islam untuk mengatur kehidupan, tercakup didalamnya adalah menerapkan aturan pengelolaan hutan menurut syariah Islam. Allah telah menjanjikan keberkahan bagi manusia. Allah berfirman: “Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS Al-A’rof, 96)
Oleh karenanya, kembali kepada aturan Allah adalah suatu keharusan. Wallahu “a’lam

Related posts

UU Ciptaker, Berpotensi Menambah Kerusakan Lingkungan

ArkiFM Friendly Radio

Status Quo Kepemimpinan Lombok Tengah, Jegat Dinasti dengan Calon Alternatif

ArkiFM Friendly Radio

Panwas KSB: Mutasi Di Lingkup Pemda KSB Tidak Ada Kaitan Dengan Pilgub

ArkiFM Friendly Radio