ARTIKEL

Menggeser Jagung dari Areal Perhutanan Sosial di Kabupaten Sumbawa Barat

Oleh : Lalu Aditya Pandu R.K. (Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Magister Manajemen Inovasi Universitas Teknologi Sumbawa)

Memasuki era ketidakpastian lingkungan dan perubahan iklim, menjadi esensial bagi kita untuk secara bijak mengevaluasi konsekuensi kebijakan pertanian terhadap ekosistem hutan yang memiliki peran krusial dalam menjaga keseimbangan lingkungan kita. Salah satu perhatian utama adalah dampak negatif yang mungkin timbul dari penanaman jagung, yang sayangnya dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan pada hutan.

Usaha Indonesia dalam mengulang swasembada pangan 1984 melahirkan Permentan No 03 Tahun 2015 tentang UPSUS PAJALE. Upaya Khusus (UPSUS) ini bertujuan untuk mencapai kemandirian pangan pada tiga jenis komoditas, yaitu padi, jagung, dan kedelai (PAJALE). Maka mulai di tahun itu pemerintah memberikan banyak kemudahan dan bantuan kepada petani yang akan menanam komoditas tersebut. Terkhusus di Kecamatan Sekongkang Kabupaten Sumbawa Barat, komoditas pilihan adalah jagung. Bantuan mulai dari alsintan, benih, pupuk hingga percetakan sawah/lahan baru diberikan. Maka tidak heran hingga sekarang jika memasuki musim penghujan hampir seluruh lahan milik masyarakat di sepanjang jalan lingkar selatan dipenuhi oleh tanaman jagung.

Kawasan hutanpun terbidik oleh masyarakat untuk memperluas areal penanaman jagungnya. Maka mulai terjadi perambahan hutan di beberapa titik yang berdekatan dengan lahan Garapan milik masyarakat. Untuk meredam permasalahan ini, dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan setempat mengajak masyarakat perambah hutan untuk melegalkan diri dalam mengelola Kawasan hutan melalui Perhutanan Sosial. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor   9   Tahun   2021, perhutanan sosial merupakan suatu sistem pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang dilakukan salah satunya di dalam wilayah hutan negara dan dijalankan oleh masyarakat setempat sebagai pemain utama. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus menjaga keseimbangan lingkungan. Penanaman jagung di areal perhutanan sosial cukup membuahkan hasil, contohnya di tahun 2022 saja menurut data dari laman SIMLUH, Kelompok Tani Hutan (KTH) Sampar Baru dari Desa Talonang Baru mencatatkan nilai transaksi ekonomi sebesar Rp656.250.000,-. Hal ini menimbulkan munculnya usulan-usulan baru kelompok masyarakat yang ingin menanam jagung di dalam Kawasan hutan.

Sayangnya, hal ini tidak dibarengi dengan keseimbangan lingkungan dan kelestarian hutan yang menjadi salah satu tujuan dari perhutanan sosial itu sendiri. Kurangnya kesadaran anggota KTH dalam menjaga balance antara tanaman jagung dan tanaman kehutanan masih sering terjadi. Hal ini dikarenakan sifat tanaman jagung itu sendiri yang memang intoleran terhadap naungan. Jagung membutuhkan sinar matahari penuh sepanjang hari untuk bisa tumbuh dengan baik, penelitian Ansoruddin dkk. (2022) menunjukkan jumlah klorofil terbaik didapatkan pada jagung tanpa naungan dan penaungan 70%. Hal ini menyebabkan pepohonan yang seharusnya dibiarkan sesuai kesepakatan awal banyak ditebang untuk melenggangkan pertumbuhan jagung. Padahal dalam peraturan menteri kehutanan tentang perhutanan sosial, tanaman kehutanan dan/atau multi purposes trees species (MPTS) minimal harus berjumlah 60% dari seluruh tutupan lahan perhutanan sosial.

Selain menebang pepohonan asli di areal perhutanan sosial, pembersihan lahan sebelum masa tanampun menjadi permasalahan tersendiri. Petani lebih memilih melakukan penyemprotan dengan herbisida dan melakukan pembakaran dalam membersihkan lahan. Hal ini biasanya dilakukan pada musim kemarau sebelum masa tanam tiba di musim penghujan. Pembakaran di areal kawasan hutan sendiri adalah hal yang sangat dilarang dan diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 32 Tahun 2016 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ancaman pidana penjaranya bisa sampai maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.  Terlebih dilakukan pada musim kemarau yang meningkatkan persentase merambat lebih jauh ke areal lebih dalam di kawasan hutan. Hal ini dapat menyebabkan ikut terbakarnya tanaman kehutanan yang  sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami. Tentunya ini bisa menjadi raport merah bagi KTH dan Pemerintah Daerah dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan pemantauan titik api (hotspot) secara kontinyu melalui penginderaan jauh dalam aplikasi SiPongi.

Harapan kedepannya Pemerintah Daerah melalui stakeholder terkait, Akademisi, Swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan masyarakat peduli lingkungan mampu mendorong kelompok tani hutan pemegang izin perhutanan sosial untuk meninggalkan penanaman jagung. Baik melalui kebijakan maupun dukungan untuk komoditas lain yang lebih hutan friendly. Seperti tanaman buah-buahan, empon-empon, porang dan tanaman bernilai lain yang toleran terhadap naungan pohon-pohon besar di dalam hutan, ataupun beternak madu bisa menjadi alternatif.

Dikutip dari tulisan Fajar (2015) di laman Mongabay.co.id, salah satu perhutanan sosial yaitu  Hutan Kemasyarakatan (HKm) Desa Santong yang berada di Kayangan Lombok Utara menanam kakao, kopi, alpukat, sirih dan lain sebagainya. HKm ini kini telah menikmati hasil Rp3 Juta hingga Rp5 Juta perbulan dari masing-masing lahan 0,75 ha saja. Jika dibandingkan dengan penghasilan dari bertanam jagung yang hanya bisa dilakukan pada musim penghujan atau maksimal 2 kali dalam satu tahun, Lukman HM. Ketua KTH Batu Akik dari Desa Talonang Baru Kecamatan Sekongkang menyatakan bahwa dalam satu kali panen di areal Perhutanan Sosial skema Kemitraan Kehutanan yang dikelola, rata-rata keuntungan yang didapat sebesar Rp5 Juta per 0,75ha setelah dipotong biaya modal dan upah buruh. Bahkan perhitungan tersebut tidak menghitung upah dari keringatnya sendiri dan keluarga yang harus ikut bekerja serta menjaga tanaman jagung hampir setiap malam dari serangan hama seperti babi hutan kera dan tikus.

Saturi (2019) dalam postingan lain di laman Mongabay.co.id menuliskan, HKm Mumbulsari yang terletak di sekitar kaki Gunung Rinjani awalnya juga menanam jagung di areal mereka. Namun seiring naungan dari kanopi tanaman MPTS yang telah besar menghalangi sinar matahari langsung menyentuh lantai areal mereka. Sehingga kini mereka beralih membudidayakan lebah madu jenis Apis cerana dan Trigona hingga 2000 stup. Dalam setiap stupnya Syarifuddin ketua HKm Mumbulsari menyatakan bisa memanen 250ml hingga 500ml per tiga bulan, dengan perhitungan harga Rp75.000 per 250ml tentunya hasilnya akan jauh lebih besar daripada keuntungan sekali siklus penanaman jagung.

Oleh karena itu perlu kesadaran masyarakat terutama anggota KTH yang masih menanam jagung di areal perhutanan sosialnya untuk mecoba mengubah jenis usahatani yang dilakukan ke arah komoditas lain. Tentunya agar jargon masyarakat sejahtera hutan lestari sebagai tujuan dari perhutanan sosial dapat segera tercapai.

Related posts

Dari Logika ke Dialektika; Konflik Pemira BEM Unram 2019, KPRM, DPM dan Birokrasi Unram Wajib Tanggung Jawab

ArkiFM Friendly Radio

Mencari Figur Sumbawa Barat 2020

ArkiFM Friendly Radio

PUISI: “KELUH KAMI SEBAGAI PEKERJA MIGRAN INDONESIA”

ArkiFM Friendly Radio