Ilustrasi
Oleh: Nusaybah Tsabit (aktivis muslimah Sumbawa)
Kasus kekerasan seksual terus merebak. Hal ini bisa terlihat dari catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bahwa kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi pada tahun 2020 yakni sekitar 7.191 kasus. Sedangkan untuk tahun 2021, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang dihimpun dari sistem informasi daring perlindungan perempuan dan anak terdapat 1.902 kasus hingga 3 Juni.
Ilusi sistem liberal menghapus kekerasan seksual
Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh banyak pihak untuk menyelesaikan masalah kekerasan seksual. Mulai dari kepedulian para aktivis sosial memeberikan pelayanan pada sebagian korban juga kebijakan yang ditetapkan negara melalui undang undang. Namun, solusi yang dihadirkan negara berbasis Undang-undnag untuk menghukum pelaku tidak memberikan efek jera.
Adanya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang sudah diusulkan sejak 2012, kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021. Pengesahannya sudah delapan tahun ditunda. Terakhir dengan dalih penyempurnaan RUU-PKS diubah menjadi Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Belum disahkan RUU ini juga masih ada pro dan kontra.
Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap Perempuan meminta Badan Legislasi (Baleg) DPR RI melakukan enam penyempurnaan dalam penyusunan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Komnas Perempuan memandang penyempurnaan itu perlu dilakukan demi menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang dialami korban kekerasan seksual. (cnnindonesia.com, 10/9/2021).
Jika diamati dari definisi kekerasan seksual masih ambigu. Naskah RUU TP-PKS dari Baleg hanya memuat empat bentuk kekerasan seksual, yakni: 1) Pelecehan seksual (fisik dan nonfisik); 2) Pemaksaan kontrasepsi; 3) Pemaksaan hubungan seksual; dan 4) Eksploitasi seksual. Definisi ini hanya mengatur bentuk pemaksaan, namun tidak mengatur penyimpangan dan kejahatan seksual yang tanpa paksaan. Apakah yang demikian tidak terkategori tindak pidana?
Selain ambigunya definisi kekerasan seksual, adanya faktor- faktor liberalisasi seksual yang mengiringi perdebatannya. Dalam sistem demokrasi liberal adanya Hak Asasi Manusia (HAM) menguatkan faktor faktor liberalisasi seksual. Sistem demokrasi menjamin kebebasan berperilaku, kebebasan berhubungan seksual, homoseksual, lesbianisme, dan sebagainya. Hal itu dianggap menjadi bagian dari HAM. Akibatnya berujung pada ketidakjelasan keturunan, perselingkuhan, broken home, keterputusan hubungan kekeluargaan, juga merebaknya berbagai penyakit kelamin dan AIDS. Apa yang terjadi merugikan semua pihak termasuk kaum muslimin. Jika demikian halnya, menghapus kekerasan seksual dalam sistem demokrasi liberal hanya menjad ilusi.
Solusi Islam Kaffah memberantas kekerasan seksual
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki solusi dalam setiap masalah,termasuk kekerasan seksual. Paripurnanya Islam meniscayakan agar menggunakan aturan Allah dala segenap kehidupan. Jika Manusi berpaling dari aturan Allah maka kerusakan kehidupan terjadi. Allah telah memperingatkan kita di dalam surat Ar rum Ayat 41.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). “(TQS: Ar Ruum: 41)
Manusia harus mengambil pelajaran dari peringatan, merebaknya kasus kekerasan seksual tidak bisa diharapkan solusi dari aturan demokrasi liberal yang bukan dari Allah, justru problem akibatnya semakin bertambah.Selayaknya manusia sebagai hamba Allah bersegera untuk kembali menerapkan aturan Allah, menerapkan Islam kaffah.
Di dalam Islam, upaya penyelesaian kekerasan seksual dijalankan dengan dua hal, preventif (pencegahan) dan kuratif (penanggulangan). Dua solusi ini dijalankan dengan 3 pilar, yaitu penguatan ketakwaan individu dalam masyarakat, kontrol sosial diantara anggota masyarakat, serta adanya negara sebagai penerapan syariat secara legal.
Penguatan ketakwaan individu meniscayakan setiap individu sadar bahwa dia adalah hamba Allah dan mengikatkan dirinya dengan setiap perintah Allah. Individu akan berusaha menjauhi larangan Allah dan sadar konsekuensi jika melanggar. Tertancap dalam dirinya akan ketakutan dalam berbuat dosa, termasuk dalam melakukan pelanggaran seksual apalagi kekerasan seksual. Islam mengarahkan individu untuk memenuhi naluri seksualnya dengan menikah, jika belum bisa dipenuhi, dianjrurkan untuk berpuasa. Berpuasa dan menyibukkan diri dengan aktivitas kebaikan akan mengalihkan naluri seksualnya kepada jalan yang benar.
Kontrol sosial dalam masyarakat meniscayakan diantara individu individu akan saling mengingatkan akan kebaiikan, mencegah dari hal hal yang dalam merusak. Kepedulian individu terhadap individu yang lain membuat mereka merasa malu jika berbuat dosa, termasuk pacaran, apalagi ‘kumpul kebo’ atau kekerasan dan kejahatan seksual lainnya. Rasa sayang kepada saudara di dalam masyarakat menyemagati untuk saling mengingatkan di satu sisi, di sisi yang lain balasan aktivitas itu adalah pahala. Jika diam terhadap kemaksiatan jelas tidak diperkenankan.
Berikutnya yang berpengaruh besar adalah penerapan aturan oleh negara. Negara dalam hal ini di bawah pemimpin Islam yakni Khalifah akan menerapkan berbagai aturan. Negara yang berlandaskan akidah Islam akan melakukan beberapa hal sebagai berikut.
1). Pengaturan media difokuskan menyebarkan kebaikan dan memberikan informasi yang tepat. Negara menutup keras pintu pornografi yang akan memancing naluri seksual tanpa bisa dipenuhi dengan cara yang tepat.
2). Penerapan sistem pendidikan yang penguatan kepribadian Islam (warga negara terbentuk pola pikir dan pola sikap yang islami dala menyelesaikan masalah), di sisi danyang lain negara mengarahkan agar warga negara memiliki keterampilan yang mumpuni. Negara memastikan lingkungan pendidikan menjadi tempat yang aman dan menenangkan. Generasi yang memiliki kepribadian Islam menjadi generasi yang jauh dari krisis moral baik narkoba, seks bebas, dan sebagainya apalagi sampai melakukan kekerasan seksual.
3). Penerapan sistem pergaulan Islam, sistem ini mengatur interaksi laki-laki dan perempuan baik dalam ranah khusus maupun umum. Negara menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Kejjahatan dan kekerasan seksual bisa dipicu rangsangan dari luar yang nantinya akan memengaruhi naluri seksual. Islam membatasi interaksi laki-laki dan perempuan, namun memberikan peluang interaksi dalam memenuhi kebutuhannya seperti pendidikan (sekolah), ekonomi (perdagangan, pasar) dan kesehatan (rumah sakit, klinik, dan lain lain).
4). Penerapan sistem sanksi yang tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah). Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera bagi pelaku sekaligus menjadi pengahapus dosa yang telah dilakukan kelak di akhirat. Allahu’alam.