Penulis : Sabariah, S.Pd.SD (Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Teknologi Sumbawa)
Tahun pelajaran akan segera usai. Para guru dan tenaga kependidikan tengah disibukkan dengan kegiatan akhir tahun. Penilaian akhir semester genap akan segera dilaksanakan pada awal Juni mendatang untuk siswa pada tingkat bawah. Lain halnya dengan siswa tingkat akhir yang tengah disibukkan dengan latihan penguatan minat bakat dan seni, untuk persiapan pelaksanaan perpisahan sekolah.
Acara perpisahan siswa akhir di sekolah, telah lama ada di tengah kehidupan sekolah, kegiatan sepertinya sudah menjadi semacam tradisi. Termasuk ketika penulis mengenyam pendidikan di sekolah dulu. Namun, terkait dengan pelaksanaan kegiatan perpisahan seperti ini, ternyata selalu saja menuai pro dan kontra. Baik itu di praktisi ataupun di masyarakat luas. Aduan sebagai bentuk protes juga sangat beragam, disampaikan langsung ke sekolah, dan teranyar adalah melalui media sosial. Wajarlah, di era bebas internet ini dan keterbukaan informasi, penyampaian protes di media sosial menjadi pilihan yang simple, yang walaupun kadang membuat semakin rumit. Belum Ketika mendapat respon netizen (baca. Warganet). Isu ini juga kadang viral. Nah, kalau sudah begini, maka semakin repot ceritanya, karena kita seolah-olah ingin mencari ‘kambing hitam’ dalam persoalan ini.
Kembali pada konteks pro dan kontra, jika mengamati pendapat yang berkembang kemudian di dunia maya, alasannya juga sama semenjak dulu ketika penulis masih sekolah, yaitu kegiatan ini sangat memberatkan wali siswa karena kegiatannya dibebankan kepada siswa itu sendiri. Tetapi kegiatan itu selalu tetap dapat terlaksana, dengan alasan untuk memotivasi dan memunculkan kebanggaan warga sekolah, sarana mengekspresikan minat bakat, termasuk sebagai sarana kemunikasi antar warga sekolah yaitu siswa, guru, komite dan orang tua atau wali siswa. Artinya ada asas manfaat yang sangat besar dalam pelaksanaan kegiatan seperti ini. Sehingga persoalan protes tadi terabaikan.
Merujuk dalil antara pro dan kontra kegiatan itu. Bagi pihak yang kontra, dalilnya merujuk kepada Permendikbud RI Nomor 44 Tahun 2012 tentang pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan, dimana disebutkan bahwa, satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan. Pungutan itu juga tidak boleh dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Sedangkan pada pihak yang pro memegang dalil pada pasal 46 Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Selain dalil diatas, bagi pihak yang pro, ada juga alasan asas manfaat bagi siswa ataupun warga sekolah yang telah penulis sebutkan pada paragraf sebelumnya. Apalagi ini dilakukan atas persetujuan komite dan rapat wali siswa yang diinisiasi oleh pihak sekolah. Lantas apakah ini mau dianggap sebagai pungutan liar? Bagi penulis itu bukan pungutan liar. Memang kondisi ini berpotensi menjadi ‘bola liar’, jika tidak terkomunikasi dengan baik. Bahkan perlu diingat, protes berlebihan ini juga tak jarang berujung kepada tercorengnya nama sekolah. Kalau sudah demikian siapa yang dirugikan, tentu semua warga sekolah.
Secara substansi, sebenarnya penulis melihat benang merah yang menjadi solusi dalam menyikapi masalah ini, sehingga kita tidak perlu mencari siapa yang salah atau yang perlu ‘dikambing hitamkan’. Solusi utamanya adalah komunikasi dalam penyatuan visi utk memajukan sekolah, semakin banyak sarana komunikasi yang digunakan, masalah ini juga dapat diminimalisir. Artinya sarana komunikasi pihak sekolah juga perlu diperbanyak, atau tidak terbatas pada rapat lantas dianggap selesai, harusnya pada kegiatan ini seperti media sosial ataupun internet juga harus intens dipublikasikan. Penulis yakin dengan demikian tingkat kesadaran warga sekolah tentang perannya dalam memajukan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama akan semakin kuat, dimana peran yang bisa dilakukan oleh warga sekolah atau masyarakat melalui komite secara gotong royong juga akan semakin meningkat.
Hal tersebut diatas, sesuai dengan pendapat Ahli Pendidikan Abdul Hadis dan Nurhayati (2010:3) dalam bukunya Manajemen Mutu Pendidikan menyampaikan bahwa tanpa adanya kerjasama yang baik dengan berbagai pihak lembaga pendidikan tidak akan mampu berjalan sendiri dalam menjalankan proses belajar mengajar agar dapat menghasilkan peserta didik yang bermutu. Belum lagi tuntutan peningkatan mutu yang dilakukan oleh lembaga pendidikan. Salah satu merosotnya mutu pendidikan karena kurang memaksimalkan komunikasi dan informasi dalam dunia pendidikan termasuk di dalamnya menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan masyarakat. Maka jika kita melihat apa yang menjadi tujuan dari perpisahan yaitu sebagai bagian dari upaya peningkatan minat dan bakat, tentu ini menjadi wilayah peningkatan mutu. Lantas apakah kita tega untuk lepas tangan terhadap suatu tradisi yang positif untuk anak didik kita ini?
Peran komite sekolah seperti ini diatur jelas dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 pasal 10 ayat (1) yang menyebutnan bahwa Komite Sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan. Kemudian pada pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.
Solusi berikutnya, adalah membangun dan memperkuat trust atau kepercayaan kepada pihak sekolah. Ayolah kita hilangkan pikiran apalagi memposting tanpa tabayyun, yang akan membuat sekolah justru terdengar ‘kotor’ dengan menganggap bahwa, kegiatan sekolah seperti ini hanya kegiatan seremonial yang hanya menghabiskan dana dan biaya sia-sia, apalagi sampai menganggap ini akal-akalan pihak sekolah untuk berpesta dan berhura-hura, atau modus bagi sekolah karena ingin mempromosikan sekolah. Bukankah semua kita membutuhkan sekolah sebagai tempat yang tepat untuk menuntut ilmu? Bahkan sekolah hari ini tidak berlebihan jika kita melihat menjadi tumpuan harapan disaat para orang tua tidak mampu menjadi guru untuk anaknya sendiri. Mari kita jaga sekolah! untuk apa berbeda kalau bisa sama, apalagi berpro dan kontra hanya karena hal sepele. Intinya adalah mari saling percaya dan menjaga komunikasi.
Terakhir, sebagai penutup dari tulisan ini, sekedar berbagi pegalaman penulis untuk mengingatkan memori kita semua, terutama bagi yang pernah melaksanakan, bukan karena sekarang penulis adalah guru. Penulis yakin kegiatan perpisahan ini sangat membekas dan terkenang bagi banyak pihak, siswa, wali siswa, ataupun warga sekolah lainnya. Kegiatan yang hanya akan dilaksanakan sekali diakhir masa sekolah ini bukan hanya tentang ceremonial, ada totalitas dan kecintaan warga sekolah, khususnya siswa dan guru-guru dengan sekolahnya yang harus dibangun dan dijaga. Apalagi pada momentum ini anak-anak peserta didik dapat menunjukkan kebolehan yang dimiliki, menampilkan bakat seni dan keterampilan yang telah diasah selama menempuh pendidikan di sekolah. Artinya penulis bukan ingin mencari siapa yang benar dan salah, sehingga muncul pro dan kontra, tetapi mari kita perkuat pertanyaan apa yang akan kita lakukan untuk menguatkan sekolah sebagai wadah tempat anak didik kita mengenyam Pendidikan dan membangun peradaban.