Oleh : Nadiyah Kholilah Yahya (Mahasiswa Hubungan Internasional UII)
Sejak dinyatakan sebagai pandemic oleh badan kesehatan dunia, covid-19 tidak hanya menjadi ancaman kesehatan bagi manusia di seluruh dunia, tetapi juga mulai menjalar menjadi ancaman ekonomi bagi semua negara. Ancaman ekonomi akibat Covid-19 ini, seperti dikutip finance.detik.com telah diprediksi International Monetary Fund (IMF). Badan keuangan dunia ini memprediksi bahwa akan ada pengurangan Produk Domestic Bruto (PDB) global dari yang awalnya 3,3 persen menjadi 3 persen. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, dan tercatat sebagai penurunan PDB terburuk sejak perang dunia kedua.
Sementara itu atas dampak dari pandemic ini, Bank Dunia menyatakan kemungkinan adanya 70-100 juta orang yang berada dibawah garis kemiskinan ekstrim. Hal ini dikarenakan mobilitas yang terbatas, sehingga permintaan dan pasokan yang selama ini menggerakkan ekonomi menjadi terhambat. Jadi tak heran, ketika Negara adidaya sekelas Amerika Serikat, Negara-negara Eropa, Jepang ataupun China juga sangat merasakan dampak dari Covid-19. Amerika serikat sendiri diprediksi akan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai -6,1 persen, dan penambahan pengangguran mencapai 6,6 juta jiwa. Sama halnya dengan Amerika, pertumbuhan ekonomi Jepang juga diprediksi akan turun mencapai -6,1 persen.
Meskipun China menunjukkan adanya perkembangan yang positif dalam proses pemulihan, akibat kebijakan lockdown. Namun pertumbuhan ekonomi China diprediksi hanya mampu merangkak mencapai 1 persen. Dan kondisi itu tentu tak bisa disamakan dengan Negara-negara yang belakangan masih gagap untuk menghadapi pandemic Covid-19, apalagi Negara berkembang seperti Indonesia.
Ketergantungan terhadap bantuan dan transaksi ekonomi global yang tinggi, dan bagi negara yang kebanyakan mendapatkan penghasilan di sektor export komoditas, pandemic ini menjadi beban yang dua kali lebih berat, terbukti dengan prediksi IMF tentang penurunan pertumbuhan ekonomi di ASEAN mencapai 0,6%. Selain itu efek perang dagang antara Amerika Serikat dengan China, pasar saham yang terpukul dan jatuhnya harga minyak juga ikut menjadi pendorong terjadinya krisis ekonomi global 2020.
Seperti dikutip cnbnindonesia.com dalam berita yang berjudul “ini 7 bukti covid-19 telah bikin ekonomi dunia hancur”, ketua IMF Gita Gopinath mengatakan bahwa, pembatasan pergerakan dan aktivitas sebagai “Great Lockdown” mengakibatkan pergerakan ekonomi global terhenti, usaha terancam, dan pastinya menambah jumlah pengangguran di setiap negara. Hal tersebut juga diakui Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut bahwa, ancaman resesi ekonomi ini juga menjadi ancaman serius bagi Indonesia karena sektor UMKM yang saat krisis ekonomi tahun 1998 dan 2008 tetap bisa berjalan dengan baik kita ikut terpukul dan terancam bangkrut.
Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan memprediksi bahwa, Indonesia akan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi mencapai 2,3 persen, dan kemungkinan penambahan jumlah pengangguran mencapai 1,5 juta jiwa. Bahkan Sri Mulyani juga memberikan prediksi dengan kemungkinan terburuk mengenai penurunan pendapatan ekonomi Indonesia mencapai 0,4 persen, dan penambahan jumlah pengangguran mencapai 5 juta jiwa. Untuk itu, Kementerian keuangan tengah menyiapkan protokol manajemen krisis yang dulu pernah diterapkan tahun 2008 dengan penyesuaian keadaan saat ini.
Pukulan dari pandemic Covid-19 dan melihat dampaknya terhadap Indonesia, sebenarnya bisa dinyatakan Indonesia belum siap secara sosial dan ekonomi untuk menghadapi pandemic ini. Karena melihat 6,72 persen dari GDP pada APBN 2020 defisit, dan juga Indonesia masih dinilai belum secara maksimal dalam efisiensi anggaran negara. Dan kondisi ini juga ikut dikomentari oleh Pakar ekonomi dan politik Rizal Ramli yang menyatakan bahwa, adanya kebijakan kartu prakerja, dan lamanya keputusan untuk menghentikan sementara pembangunan ibukota baru serta infrastruktur di tengah pandemic, merupakan contoh tidak efektifnya susunan prioritas dalam alokasi dana oleh pemerintah. Hal itu diperburuk dengan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar yang mencapai 14.216,65.
Sementara itu, Dosen Hubungan Internasional UII, Hangga Fathana mengatakan, memang seharusnya pemerintah melakukan efektivitas anggaran negara dengan memprioritaskan pengalokasian dana pada sektor kesehatan, kompensasi dengan pemberian bantuan langsung tunai kepada masyarakat menengah kebawah, dan bantuan bagi dunia usaha. Diberlakukannya system “New Normal” yang berusaha menciptakan tatanan hidup baru masyarakat yang tetap waspada terhadap covid-19 tanpa mematikan ekonomi, merupakan langkah awal pemerintah untuk menstabilkan ekonomi Indonesia agar tidak terlalu terpuruk ketika krisis ekonomi global 2020 benar-benar terjadi.
Langkah Indonesia ini dinilai terlalu ekstrim karena mengupayakan “New Normal” ketika angka penambahan jumlah kasus covid-19 terus bertambah. Seharusnya Indonesia saat ini tetap memberlakukan pembatasan sosial berskala besar untuk menghentikan penyebaran covid-19 tanpa melumpuhkan ekonomi agar akar permasalahan selesai. Indonesia Pun akan sulit menghadapi krisis ekonomi global ketika ancaman kesehatan akibat covid-19 belum berakhir. Karena kalau menilik sejarah terjadinya krisis ekonomi seperti Asian Financial Crisis tahun 1997-1998 dan Global Financial Crisis tahun 2008-2010, perekonomian Indonesia mengalami masa-masa kritis. Bukan tidak mungkin kemudian kondisi ini akan memicu kepada krisis kepercayaan terhadap pemerintah. (Opini/Arkifm.com)