ARTIKEL

UU Ciptaker, Berpotensi Menambah Kerusakan Lingkungan

Penulis: Haula Suci Lestari
(Alumni Pendidikan Biologi FKIP Unram & Hmiwati Cabang Mataram)

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki potensi sumberdaya alam (SDA) yang cukup besar. Sekaligus sebagai negara dengan permasalahan lingkungan yang sudah memasuki level krisis. Indonesia kembali menjadi sorotan,  karena aturan  yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditolak oleh berbagai lapisan masyarakat.

Pertanyaannya adalah, apakah strategi berkelanjutan penguasan negara, bisa memulihkan krisis lingkungan atau indonesia kembali dikategorikan sebagai negara penambah degradasi lingkungan?

Mari kita melihat kembali dampak deforestasi dan degradasi lingkungan
Emisi sebesar 85% yang dihasilkan, dari penghancuran hutan  dan konversi lahan terutama gambut. Menyebabkan indonesia menjadi negara, percemar polusi ke 3 terbesar didunia (Indonesia Climate Trust Fund/ ICTF: Juni 2019). Peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla), menimbulkan penderitaan berupa110.133 kasus ISPA, 311 kasus pneumonia, 415 kasus asma, 689 kasus iritasi mata, dan 1850 kasus iritasi kulit (Data Kemenkes RI, 2018). Dampak Perubahan iklim pada tahun 2050, diduga akan mengancam 25 % semua jenis biota darat menuju kepunahan. Begitupun dengan  potensi sumber daya alam khas indonesia. Salah satunya adalah mangrove, yang sudah dan akan terancam lagi mengalami degradasi. Padahal, keberlangsungan ekosistem ibarat rantai yang “tidak boleh putus”. Artinya, satu saja organisme yang diekploitasi hingga terancam keberadaanya, maka pasti akan mempengaruhi kehidupan organisme lain. Lingkungan bukan sekedar tempat tinggal. Tetapi sudah menjadi “habitat” flora dan fauna, yang harus serius diupayakan pemulihannya. Pemulihan tingkat habibat adalah salah satu solusi mencegah terjadinya penurunan keanekaragaman hayati.

Kasus-kasus dan upaya pemulihan lingkungan

Berbagai upaya yang sudah dilakukan untuk pelestarian lingkungan. Upaya preventif yaitu dengan memberikan edukasi kepada masyarakat, melalui sosialisasi hingga membentuk badan pengawasan.Upaya refresif yaitu perihal lingkungan yang sudah mengalami degrasi dan deforestasi, terdapat upaya penegakan hukum berupa sanksi yang diterapkan.

Berdasarkan data pada tahun 2015-2018, sanksi administrasi yaitu 523 kasus meliputi: pencabutan izin 4 kasus, pembekuan izin 21 kasus, paksaan pemerintah 360 kasus, teguran tertulis 23 kasus, surat peringatan 115 kasus. Sedangkan penegakan kasus melalui penegakan hukum pidana 530 kasus yaitu pembalakan liar sebanyak 254 kasus, perambahan hutan 85 kasus, peredaran ilegal TSL 175 kasus, pencemaran lingkungan 13 kasus, karhutla 3 kasus.

Hasil Penegakan hukum perdata yaitu kebakaran hutan dan lahan 4 kasus, kerusakan lingkungan 3 kasus dan pencemaran lingkungan 3 kasus. Total kasus penegakan hukum perdata 18 kasus. Total ganti kerugian sebanyak 16,94 triliun dan biaya pemulihan 1,37 triliun (status hutan dan kehutanan Indonesia,KLHK:2018). Unsur-unsur yang terlibat dalam upaya pencegahan dan pemberantas hutan, meliputi; unsur kementrian hutan,unsur kepolisian RI, unsur kejaksaan dan unsur lain yang terkait. Upaya pemulihan lingkungan juga dilakukan oleh komunitas relawan peduli lingkungan yang terus bertambah.

Lalu, bagaimana pemulihan melalui aturan baru?

Alasan perubahan undang-undang, seperti yang terdapat pada paragraf 4  pasal 35 UU Cipta kerja 2020. Terkait pembahasan sektor kehutanan, yaitu memberikan kemudahan bagi masyarakat, terutama pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha dan untuk kemudahan persyaratan investasi. Tetapi, jika kita analisisis  UU cipta kerja  yang merupakan stategi pemerintah untuk mewujudkan berbagai alasan tersebut, justru akan menambah dampak negatif bagi lingkungan. Contoh aturan yang dirubah yaitu UU No. 41 Tahun 1999 pasal 18 ayat 2 tentang kehutanan yaitu “memuat ketentuan luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 % berdasarkan daerah aliran sungai dan/atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Perubahan UU tersebut adalah dihapus, sehingga dalam pasal 18 UU Cipta Kerja tidak memiliki ketentuan kecukupan luas kawasan/tanpa batas minimal. Selain itu, dijelaskan bahwa pemerintah pusat yang berwenang menetapkan dan mempertahankan luas cakupan kawasan hutan tersebut.

Perihal tujuan memberikan kemudahan mendapatkan izin usaha. Mari kita melihat, UU terkait pembahasan  perkebunan. Ternyata, langkah yang diambil pemerintah yaitu dengan menghapus syarat-syarat yang justru dianggap penting dan memberikan dampak besar bagi lingkungan. Contoh undang-undang No. 39 tahun 2014 pasal 67 ayat 3, memuat ketentuan tentang “syarat memperoleh izin usaha meliputi; membuat analisis dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, memiliki analisis dan manajemen resiko serta membuat pernyataan kesanggupan sistem tanggap darurat untuk menyediakan sarana, prasarana dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya bencana kebakaran. Sedangkan dalam UU Cipta kerja Pasal 67 halaman 126,  ketentuan/syarat-syarat tersebut dihapus. UU Cipta kerja pasal 67 ayat 2 juga memuat  “ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban memelihara lingkungan hidup diatur dengan peraturan pemerintah’. Padahal aturan sebelumnya, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lantas, jika peraturan pemerintah (PP) belum dijabarkan secara rinci, dan kekuatannya lemah/tidak dapat diberlakukan sanksi pidana, maka sudah jelas bahwa pelaku usaha perkebunan, bahkan korporasi memang diberikan keluasan dalam membuka usaha tanpa memenuhi syarat-syarat izin berusaha. Sikap pemerintah tersebut, akan dinilai bahwa fungsi lingkungan adalah untuk ekonomi semata tanpa mempertimbangkan fungsi dasar. Lebih lanjut dijelaskan dalam undang-undang No. 39 tahun 2014 terkait pelestarian fungsi lingkungan hidup pasal 67 ayat 4 yaitu “jika syarat memperoleh izin usaha tidak dipenuhi, maka permohonan izin usahanya ditolak”.

Sedangkan dalam UU ciptaker tidak dicantumkan/dihapus. UU cipta kerja juga menghapus pasal 68, padahal sebelumnya pasal 68 UU No. 39 tahun 2014 yang merupakan tindak lanjut pasal 67 memuat “setelah memperoleh izin usaha perkebunan, pelaku usaha wajib menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup, analisis risiko dan pematauan lingkungan hidup. juga dihapus dalam UU cipta kerja.

Jika upaya pemulihan sudah dan sedang dilakukan dengan berbagai cara, tetapi masih saja Indonesia dikategorikan negara dengan permasalahan lingkungan yang banyak. Maka sudah sepatutnya rancangan undang-undang, termasuk UU Cipta kerja yang disahkan pada tanggal 5 oktober 2020. Perlu dicermati dengan hati-hati dan melakukan kajian lebih mendalam. Kajian tersebut  juga harus memperhatikan masukan dari masyarakat yang terkena dampak,  akademisi atau ahli lingkungan. Sehingga, tujuan undang-undang yang dibuat atas nama kesejahteraan rakyat tersebut, tidak berbalik menjadi kesengsaraan rakyat dimasa mendatang. Apalagi benar-benar bisa mencegah “oligarki ekonomi” dengan memahami fungsi dasar lingkungan. Selain itu, dalam rangka mempercepat pemulihan dan mencegah kerusakan, sanksi pidana denda seharusnya korporasi atau badan usaha sendiri yang melakukan pemulihan lingkungan atau membiayai seluruh biaya pemulihan lingkungan sampai tuntas.

Perihal  deforestasi di Indonesia yang sering terjadi karena adanya alih fungsi hutan, juga seringkali memunculkan konflik baik antara masyarakat dengan pengusaha maupun antara pengusaha dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM)/komunitas yang bergerak dibidang penyelamatan lingkungan. Karena pemulihan lingkungan juga bergantung pada keputusan pemerintah, maka hal-hal seperti ini seharusnya tidak boleh luput dari perhatian. Upaya penguasa negara melalui pengelolaan habitat yang tepat, aturan yang tegas dan sikap konsisten dalam hal “serius” melakukan pengelolaan lingkungan. Akan memperbaiki kualitas  lingkungan hidup termasuk bisa mencegah laju penurunan keanekaragaman hayati. 

Related posts

Sumbawa Barat Darurat Narkoba; Putus Mata Rantai dan Lakukan Pembinaan

ArkiFM Friendly Radio

Mengurai Benang Kusut Sengketa Tanah Batu Nampar Talonang

ArkiFM Friendly Radio

Maju Jalur Independen, Kenapa Tidak?

ArkiFM Friendly Radio