Oleh: Nurhidayati Arifah, S.Pd (Kader Pengawasan Partisipatif 2019)
Pemetaan isu strategis ini perlu dilakukan agar dapat mempersiapkan solusi atas berbagai kendala yang akan dihadapi mendatang.
Tahapan Pemilu 2024 sudah dimulai sejak 14 Juni 2022 lalu, artinya genderang penyelenggaraannya sudah mulai ditabuh. Dimulai dengan penyusunan perecanaan, program, dan anggaran pemilu adalah tahapan pertama sesuai dengan Peraturan KPU No.3 Tahun 2022. Sebagai tanda dimulainya gawe politik nasional ini, KPU melakukan kegiatan peluncuran tahapan pemilu tahun 2024 dan disusul Bawaslu menggelar apel siaga pengawasan pemilu 2024 serentak se-Indonesia.
Bertabuhnya genderang pemilu ini tidak bisa dilihat sebagai rutinitas gawe politik lima tahunan semata, namun terdapat sejumlah potensi-potensi kerawanan yang harus diantisipasi baik oleh penyelengara maupun sejumlah stakeholder terkait agar suksesi nasional ini berjalan dengan baik. Mengapa ini penting, karena perebutan kekuasaan tidak bisa lepas dari konflik-konflik yang mengiringi. Maka antisipasi kerawanan perlu dilakukan.
Berdasarkan pemetaan yang coba saya uraikan yang merupakan hasil analisa dari berbagai kegiatan baik forum sekolah kader pengawasan, materi kelas pemilu, diskusi kelompok terpumpun, serta pengalaman langsung di lapangan setidaknya terdapat tujuh isu atau kerawanan yang perlu diantisipasi oleh penyelenggara maupun pihak terkait lainnya.
Pertama, data pemilih. Masalah data pemilih selalu menjadi dinamika setiap perhelatan pemilu. Pada 2019 lalu, daftar pemilih tetap (DPT) diperbaiki berkali-kali, sebab persoalan data pemilih ganda, warga meninggal dunia, dan pindah domisili menjadi problem yang tak berkesudahan. Isu ini sangat penting untuk diantisipasi, sebab bukan hanya untuk memastikan hak politik warga negara, tapi juga untuk memastikan penyediaan logistik yang dibutuhkan oleh penyelenggara. Maka diperlukan adanya pengembangan mekanisme pemutakhiran data pemilih berkelanjutan serta penguatan regulasi untuk mengatasi permasalahan validasi data pemilih.
Kedua, sumber daya manusia. Masih terekam dengan jelas pada perhelatan pemilu 2019, sejumlah 894 petugas meninggal dunia dan 5.175 petugas yang mengalami sakit. Beban kerja penyelenggara pemilu begitu tinggi sehingga mereka kelelahan saat pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara. Jumlah itu bukan semata angka statistik, tetapi manusia dan kemanusiaannya. Maka diperlukan desain penyelenggaranya dipikirkan secara matang agar tidak memakan korban.
Ketiga, pendaftaran dan verifikasi partai politik. Penggunaan SIPOL sebagai syarat wajib bagi partai politik untuk melakukan pendaftaran calon peserta pemilu mengakibatkan pro dan kontra dalam pelaksanaannya. Penggunaan SIPOL dari sisi aplikasi masih dikeluhkan beberapa partai politik, sehingga beberapa partai politik berusaha melakukan lobi diluar aturan yang semestinya dengan menghubungi penyelenggara untuk membantu proses perbaikan hasil verifikasi sehinngga mengganggu independensi penyelenggara pemilu.
Keempat, tahapan kampanye yang sudah ditentukan selama 75 hari oleh KPU menjadi ruang dan waktu yang sangat rawan dalam perhelatan ini. Sebab, potensi pelangaran seperti politik uang, SARA, hoaks dan hate speech, dan netralitas ASN sangat rawan terjadi pada tahap ini. Bahkan, polarisasi warga karena fanatisme terhadap calon memungkinkan terjadi.
Kelima, perbedaan penafsiran antar penyelenggara. Apabila ini terjadi terhadap isu-isu yang muncul dalam tahapan pemilu dan pemilihan dapat memunculkan sejumlah permasalahan. Untuk itu, baik Bawaslu maupun KPU harus saling berkoordinasi melakukan sinergisitas terkait PKPU dan Perbawaslu.
Keenam, pemungutan dan penghitungan suara. Pengalaman pemilu 2019, pada tahapan ini menjadi tahapan yang paling melelahkan bagi penyelenggara di tingkat TPS. Dengan lima jenis surat suara yang dihitung menutut kerja dan konsentrasi dari pagi hingga larut malam. Tak heran banyak penyelenggara yang kelelahan. Potensi kerawanannya bukan hanya kelelahan fisik, tetapi memungkinkan terjadi kesalahan dalam hal penghitungan. Pengalaman ini harus menjadi evaluasi.
Ketujuh, desain penegakan hukum. Konstruksi system desain penegakan hukum pemilu hingga saat ini masih sangat rumit dan berlapis-lapis. Desain yang saat ini diterapkan masih menggambarkan sangat banyaknya pintu demokrasi penegakan hukum dalam proses pemilu. Sebagai contoh, pelanggaran administrative pemilihan yang terjadi secara terstruktur sistematis dan masif, setelah diputus oleh jajaran Bawaslu dan ditindaklanjuti oleh KPU maka keputusan tersebut masih diuji di Mahkamah Agung.
Jika melihat konstruksi hukum pada Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, setidaknya ada 77 perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana. Sanksi pidana yang pada dasarnya merupakan ultimatum remidium justru terlihat diposisikan sebagai alat utama untuk mengancam pihak-pihak yang melanggar dalam penyelenggaraan pemilu. Padahal banyak perbuatan yang dikriminalisasi dalam UU Pemilu, sesungghnya perbuatan yang administratif, yang jika dilakukan akan lebih efektif jika diberikan sanksi administrative atau etik.
Melihat beberapa potensi kerawanan itu, perlu diantisipasi oleh semua pihak. Bukan semata oleh penyelenggara, tetapi juga instansi lain sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Keterlibatan masyarakat, media, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah aparatur penegak hukum, serta kami sebagai kader pengawasan partisipatif ini juga menjadi sebuah keniscayaan untuk sama-sama mensukseskan hajatan besar lima tahunan ini. Keterlibatan itu bukan semata dalam konteks partisipasi pemilih saja, tetapi secara partisipatif ikut mengawasi jalannya tahapan yang ada.