Sumbawa Barat. Radio Arki – Dalam kegiatan sosialisasi pengawasan pemilihan partisipatif yang diadakan pada Jumat, 4 Oktober 2024, di aula Hotel Grand Royal, Umar Ahmad Seth, Anggota Bawaslu NTB, secara tegas mengingatkan para kepala desa se-Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) mengenai ancaman pidana yang menanti jika mereka tidak bersikap netral dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat 2024.
Menurut Umar Seth, posisi kepala desa di tengah masyarakat memiliki pengaruh yang signifikan, terutama karena mereka sering kali dianggap sebagai tokoh formal yang dihormati dan diikuti. Hal ini, ujarnya, membuat netralitas kepala desa menjadi isu yang krusial dalam setiap perhelatan demokrasi, khususnya di KSB.
“Netralitas kepala desa selalu jadi isu pertama karena mereka sangat dekat dengan masyarakat. Para calon tidak mungkin tidak turun di desa, dan yang pertama kali mereka komunikasikan adalah kepala desa dan perangkatnya,” jelas Umar.
Umar juga menekankan bahwa pelanggaran netralitas kepala desa bukan hanya merusak tatanan demokrasi yang dijaga, tetapi juga dapat berujung pada pidana. Dia mengingatkan bahwa pidana pemilihan atau pilkada memiliki sanksi yang lebih berat dibandingkan pidana pemilu.
“Penanganan pelanggaran netralitas kepala desa diatur dalam UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pelanggaran ini masuk dalam kategori pidana pemilihan,” tegasnya.
Selama dua kali pemilu dan pilkada di KSB, Umar mencatat belum ada kasus kepala desa yang sampai pada putusan pengadilan. Namun, di Sumbawa, sudah terjadi kasus serupa. Dia mengimbau para kepala desa untuk lebih berhati-hati dalam pilkada kali ini, mengingat dinamika yang berbeda.
“Kami berharap, meskipun selama ini tidak ada kasus di KSB, namun kali ini kita harus lebih waspada karena pilkada ini berbeda,” katanya.
Umar juga menyoroti bahwa netralitas tidak hanya diukur dari sikap tidak berpihak, tetapi juga dari tidak tampaknya keberpihakan. Sebagai contoh, kepala desa tidak boleh terlihat berkomunikasi dengan satu calon tertentu.
“Netralitas itu bisa dipahami bukan hanya tidak berpihak, tetapi juga tidak terlihat berpihak,” ujarnya, menambahkan bahwa tindakan-tindakan yang menguntungkan salah satu calon tanpa disadari juga bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran.
Selain itu, Umar menekankan bahwa kepala desa tidak boleh membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon manapun. Tindakan ini tidak harus berbentuk keputusan tertulis, namun bisa berupa tindakan lain yang dapat mengarahkan masyarakat pada satu calon tertentu.
Ia juga menegaskan bahwa putusan-putusan terkait netralitas kepala desa di berbagai daerah di NTB, seperti Dompu, Sumbawa, dan Lombok, telah menjadi yurisprudensi yang diikuti oleh hakim di seluruh Indonesia. “KSB memang belum ada kasus, dan kami berharap ini tidak terjadi di masa mendatang,” tutup Umar.
Dengan demikian, Umar Ahmad Seth menegaskan pentingnya netralitas kepala desa dalam memastikan pelaksanaan demokrasi yang adil dan transparan di KSB. Kepala desa diharapkan bisa menjaga sikap netral mereka agar tidak terlibat dalam politik praktis yang merusak tatanan demokrasi dan dapat berakibat pada sanksi pidana yang tegas. (Admin02.RadioArki)