Tidak ada yang paling hebat didebat selain pesta demokrasi yang sebentar lagi digelar. Hampir semua kalangan tidak mau tertinggal topik pilkada NTB, khususnya di Kabupaten Sumbawa Barat. Dua bulan terakhir suasana semakin gerah. Beragam isu mulai menari-nari meskipun terbilang sedikit basi. Janji-janji tidak mau kalah dan kian berseliwiran sebagai penyedap informasi. Keterbatasan akses teknologi dan media informasi di beberapa tempat, seolah menjadi pemulus informasi berisi janji-janji yang sarat imaginasi. Ditambah, beberapa oknum kian menggunakan “ketokohan” sebagai pintu masuk kepada masyarakat bawah yang kurang memahami. Sehingga penulis melihat demokrasi di kalangan bawah sudah dijangkit “kerasukan berfikir” yang “memaksa” masyarakat menjadi bukan mereka yang sebenarnya.
Masyarakat kita pada hakikatnya sangat ingin menjadi diri sendiri dalam menentukan pilihan. Namun dalam proses pencarian informasi tentang empat pasangan calon di Pilkada NTB dihadapkan pada kebimbangan. Seperti seorang penumpang yang sedang berada di empat persimpangan jalan dan tidak memahami arah mana yang lebih baik. Dalam prosesnya, masyarakat cendrung sampai pada kekosongan karna bosan lalu “terburu-buru” mengambil keputusan atas dasar yang tidak masuk akal. Salah satu dasar memilih yang paling banyak yaitu melihat pilihan oknum nomor satu, dua, tiga, di kabupaten, kecamatan, desa bahkan dusunnya, tanpa memahami alasan jelas kenapa dan untuk apa mereka memilih.
Bukan rahasia umum lagi bahwa sebagian besar masyarakat memiliki kepentingan masing masing jauh di atas kepentingan ke-ntb-an. Sehingga jangan heran di setiap akhir pesta demokrasi selalu lahir kelompok “kecewa” akan janji. Meskipun sesungguhnya janji itu tidak datang dari pasangan calon namun dihembuskan oleh “oknum-oknum” timses yang “rela” menggadai suara masyarakat demi konaknya. Parahnya, mereka para “sales” politik ini terkadang “menekan” masyarakat dengan cara cara yang halus agar mengikuti pilihan mereka. Yaitu Bermodal seloroh “sok” dekat dengan pemangku kebijakan dan seolah berkuasa menghambat segala sesuatu yang menjadi kebutuhan masyarakat. Bahkan tidak malu menyamar menjadi Tuhan yang bisa mengatur rejeki orang lain. Pada akhirnya, tidak sedikit masyarakat yang “tersandera” dan tidak bisa menjadi bagian demokrasi yang sejatinya.
Sebagai rakyat jelata, saya melihat sekitar yang telah pasrah dalam memilih. Mengadaikan suara sesungguhnya telah menjadi pilihan sebagian orang demi menghindari kesulitan. Memilih untuk tidak mau “repot” dalam berpikir dan semakin enggan menulis masa depan yang lebih baik. Dalam hal ini, Sekiranya perlu penyadaran penuh dalam bentuk ruqyah demokrasi terhadap para tokoh tokoh yang hobi “bermain” agar melahirkan generasi kepemimpinan yang luar biasa.
NTB sesungguhnya butuh pemimpin yang bisa membuat propinsi berlari k3ncang agar tidak diterkam pemangsa. NTB bahkan butuh pemimpin yang Bisa menyamai bahkan melebihi kemampuan pemimpin sebelumnya (TGB). TAPI, Jika kesurupan berfikir terus terjadi di tengah kita, mimpi tersebut justru menjadi angan semata dan justru kita akan mundur dan habis diterkam pemangsa globalisasi.
Samsun Hidayat
(Ketua LATS kemutar Telu Desa Sekongkang Atas.)